Studi Pemikiran Pendidikan Islam Modern
Pengantar
Pendidikan Islam bukan sekedar “transfer of knowledge” ataupun “transfer of training“, tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan. Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Dari pengertian di atas, pendidikan
merupakan sistem untuk meningkatka kualitas hidup manusia dalam segala
aspek kehidupan. Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada kelompok
manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan
peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan anak
manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang
dilakukan oleh suatu bangsa memiliki hubungan yang signifikan dengan
rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang. Dengan demikian, “pendidikan
merupakan sarana terbaik untuk menciptakan suatu generasi baru
pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradis mereka
sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau
terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya
perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia”
Pendidikan merupakan proses budaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung sepanjang
hayat. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada
perubahan zaman. Untuk itu, mau tak mau pendidikan harus didisain
mengikuti irama perubahan tersebut, apabila pendidikan tidak didisain
mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan ketinggalan dengan
lajunya perkembangan zaman itu sendiri. Pendidikan Islam sekarang ini
dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian,
pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat
modern. Dalam menghadapi suatu perubahan, “diperlukan suatu disain
paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru. Untuk
itu, pendidikan Islam perlu didisain untuk menjawab tantangan prubahan
zaman tersebut, baik pada sisi konsepnya, kurikulum, kualitas sumberdaya
insaninya, lembaga-lembaga dan organisasinya, serta mengkonstruksinya
agar dapat relevan dengan perubahan masyarakat tersebut.
- A. Karakteristik Masyarakat Modern
Secara umum masyakarat modern adalah
masyarakat yang proaktif, individual, dan kompetitif. Masyarakat modern
dewasa ini yang ditandai dengan munculnya pasca industri [postindustrial society].
Dalam bidang revolusi informasi, sebagaimana dikemukakan Donald
Michael, juga terjadi ironi besara. Semakin banyak informasi dan semakin
banyak pengetahuan mestinya makin besara kemampuan melakukan
pengendalian umum. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, semakin banyak
informasi telah menyebabkan semakin disadari bahwa segala sesuatunya
tidak terkendali. Karena itu dengan ekstrim Ziauddin Sardar [1988],
menyatakan bahwa abad informasi ternyata sama sekali bukan rahmat. Di
masyarakat Barat, ia telah menimbulkan sejumlah besar persoalan, yang
tidak ada pemecahannya kecuali cara pemecahan yang tumpul. Di lingkungan
masyarakat kita sendiri misalnya, telah terjadi swastanisasi televisi,
masyarakat mulai merasakan ekses negatifnya (Malik Fajar, 1995 : 3).
Dampak dari semua kemajuan masyarakat
modern, kini dirasakan demikian fundamental sifatnya. Ini dapat ditemui
dari beberapa konsep yang diajukan oleh kalangan agamawan, ahli filsafat
dan ilmuan sosial untuk menjelaskan persoalan yang dialami oleh
masyarakat. Misalnya, konsep keterasingan (alienation) dari Marx dan
Erich Fromm, dan konsep anomie dari Durkheim. Baik alienation maupun
anomie mengacu kepada suatu keadaan dimana manusia secara personal sudah
kehilangan keseimbangan diri dan ketidakberdayaan eksistensial akibat
dari benturan struktural yang diciptakan sendiri. Dalam keadaan seperti
ini, manusia tidak lagi merasakan dirinya sebagai pembawa aktif dari
kekuatan dan kekayaannya, tetapi sebagai benda yang dimiskinkan,
tergantung kepada kekuatan di luar dirinya, kepada siapa ia telah
memproyeksikan substansi hayati dirinya.
Semua persoalan fundamental yang
dihadapi oleh masyarakat modern yang digambarkan di atas, “menjadi
pemicu munculnya kesadaran epistemologis baru bahwa persoalan kemanusian
tidak cukup diselesaikan dengan cara empirik rasional, tetapi perlu
jawaban yang bersifat transendental”. Melihat persoala ini, maka ada
peluang bagi pendidikan Islam yang memiliki kandungan spritual keagamaan
untuk menjawab tantangan perubahan tersebut.
Mencermati fenomena peradaban modern
yang dikemukakan di atas, harus bersikap arif dalam merespons
fenomena-fenomena tersebut. Dalam arti, jangan melihat peradaban modern
dari sisi unsur negatifnya saja, tetapi perlu juga merespons unsurunsur
posetifnya yang banyak memberikan manfaat dan mempengaruhi kehidupan
manusia. Maka, yang perlu diatur adalah produk peradaban modern jangan
sampai memperbudah manusia atau manusia menghambakan produk tersebut,
tetapi manusia harus menjadi tuan, mengatur, dan memanfaatkan produk
perabadaban modern tersebut secara maksimal.
- B. Pendidikan Tradisional dan Modern
Pendidikan tradisional (konsep lama)
sangat menekankan pentingnya penguasaan bahan pelajaran. Menurut konsep
ini rasio ingatanlah yang memegang peranan penting dalam proses belajar
di sekolah. Pendidikan tradisional telah menjadi sistem yang dominan di
tingkat pendidikan dasar dan menengah sejak paruh kedua abak ke-19, dan
mewakili puncak pencarian elektik atas ‘satu sistem terbaik’. Ciri utama
pendidikan tradisional termasuk : (1) anak-anak biasanya dikirim ke
sekolah di dalam wilayah geografis distrik tertentu, (2) mereka kemudian
dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan
umur, (3) anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia
mereka pada waktu itu, (4) mereka naik kelas setiap habis satu tahun
ajaran, (5) prinsip sekolah otoritarian, anak-anak diharap menyesuaikan
diri dengan tolok ukur perilaku yang sudah ada, (6) guru memikul
tanggung jawab pengajaran, berpegang pada kurikulum yang sudah
ditetapkan, (7) sebagian besar pelajaran diarahkan oleh guru dan
berorientasi pada teks, (8) promosi tergantung pada penilaian guru, (9)
kurikulum berpusat pada subjek pendidik, (10) bahan ajar yang paling
umum tertera dalam kurikulum adalah buku-buku teks.
Lebih lanjut menurut Vernon Smith,
pendidikan tradisional didasarkan pada beberapa asumsi yang umumnya
diterima orang meski tidak disertai bukti keandalan atau kesahihan.
Umpamanya: 1). ada suatu kumpulan pengetahuan dan keterampilan penting
tertentu yang musti dipelajari anak-anak; 2). tempat terbaik bagi
sebagian besar anak untuk mempelajari unsur-unsur ini adalah sekolah
formal, dan 3). cara terbaik supaya anak-anak bisa belajar adalah
mengelompokkan mereka dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan usia
mereka
pendidikan Islam yang lain masih
menganut sistem lama, kurikulum ditetapkan merupakan paket yang harus
diselesaikan, kurikulum dibuat tanpa atau sedikit sekali memperhatikan
konteks atau relevansi dengan kondisi sosial masyarakat bahkan sedikit
sekali memperhatika dan mengantisipasi perubahan zaman, sistem
pembelajaran berorientasi atau berpusat pada guru. Paradigma pendidikan
tradisional bukan merupakan sesuatu yang salah atau kurang baik, tetapi
model pendidikan yang berkembang dan sesuai dengan zamannya, yang tentu
juga memiliki kelebihan dan kelemahan dalam memberdayakan manusia,
apabila dipandang dari era modern ini.
Konsep pendidikan modern (konsep baru),
yaitu ; pendidikan menyentuh setiap aspek kehidupan peserta didik,
pendidikan merupakan proses belajar yang terus menerus, pendidikan
dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan pengalaman, baik di dalam maupun di
luar situasi sekolah, pendidikan dipersyarati oleh kemampuan dan minat
peserta didik, juga tepat tidaknya situasi belajar dan efektif tidaknya
cara mengajar.
Pendidikan pada masyarakat modern atau
masyarakat yang tengah bergerak ke arah modern (modernizing), seperti
masyarakat Indonesia, pada dasarnya berfungsi memberikan kaitan antara
anak didik dengan lingkungan sosial kulturalnya yang terus berubah
dengan cepat. Shipman (1972 : 33-35) yang dikutip Azyumardi Azra bahwa,
fungsi pokok pendidikan dalam masyarakat modern yang tengah membangun
terdiri dari tiga bagian :
(1) sosialisasi, (2) pembelajaran
(schooling), dan (3) pendidikan (education). Pertama, sebagai lembaga
sosialisasi, pendidikan adalah wahana bagi integrasi anak didik ke dalam
nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Kedua, pembelajaran
(schooling) mempersiapkan mereka untuk mencapai dan menduduki posisi
sosialekonomi tertentu dan, karena itu, pembelajaran harus dapat
membekalai peserta didik dengan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan
profesi yang akan membuat mereka mampu memainkan peran sosial-ekonomis
dalam masyarakat. Ketiga, pendidikan merupakan “education” untuk
menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan
besar bagi kelanjutan program pembangunan” (Azyumardi Azra, dalam
Marwan Saridjo, 1996: 3)
- C. Pendidikan Islami yang Bagaimana?
Dalam menghadapi peradaban modern, yang
perlu diselesaikan adalah persoalan persoalan umum internal pendidikan
Islam yaitu (1) persoalan dikotomik, (2) tujuan dan fungsi lembaga
pendidikan Islam, (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga persoalan
ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya. Pertama, Persolan
dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan persoalan lama yang belum
terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada
integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang
pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan
seorang Muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari
Allah SWT . Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada. Memang diakui bahwa
penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup
mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan
untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk
mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Ketiga,
persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan
Islam “terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual
dan eskatologis. Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan,
suatu cara dimana peserta didik dipaksa tunduk pada suatu “meta narasi”
yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan telaah secara kritis.
Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali
hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi atau
kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah
ditentukan (A.Malik Fajar, 1995 :
Mencermati persoalan yang dikemukakan di
atas, maka perlu menyelesaikan persoalan internal yang dihadapi
pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Sebab pendidikan sekarang
ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni
bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang berkualitas,
bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat yang begitu cepat,
sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern,
tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompettif dan
proaktif dalam dunia masyarakat modern. Pertanyaannya, disain pendidikan
Islami yang bagaimana? Yang mampu menjawab tantangan perubahan ini,
antara lain: Pertama, lembaga-lembagam pendidikan Islam perlu mendisain
ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah (1) model pendidikan
yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk
mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh
dalam bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau
kontemporer sesuai dengan perubahan zaman, (2) model pendidikan umum
Islami, kurikulumnya integratif antara materi-materi pendidikan umum dan
agama, untuk mempersiapkan intelektual Islam yang berfikir secara
komprehensif, (3) model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan
konsep-konsep Islam, (4) atau menolak produk pendidikan barat, berarti
harus mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep
dasar Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia, (5)
pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi
dilaksanakan di luar sekolah, artinya pendidikan agama dilaksanakan di
rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat berupa
kursur-kursus, dan sebagainya. Kedua disain “pendidikan harus diarahkan
pada dua dimensi, yakni : (1) dimensi dialektika (horisontal),
pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan
manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia
harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui
pengembangan Iptek, dan (2) dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan
selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami,
juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang
abadi dengan maha pencipta. Berati pendidikan harus disertai dengan
pendekatan hati (M.Irsyad Sudiro, 1995 : 2). Ketiga, sepuluh paradigma
yang ditawarkan oleh Prof. Djohar, dapat digunakan untuk membangun
paradiga baru pendidikan Islam, sebagai berikut : Satu, pendidikan
adalah proses pembebasan. Dua, pendidikan sebagai proses pencerdasan.
Tiga, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak. Empat, pendidikan
menghasilkan tindakan perdamaian. Lima, pendidikan adalah proses
pemberdayaan potensi manusia. Enam, pendidikan menjadikan anak
berwawasan integratif. Tujuh, pendidikan wahana membangun watak
persatuan. Delapan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik.
Sembilan, pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap
lingkungan. Sepuluh, sekolah bukan satusatunya instrumen pendidikan
(Djohar, 1999 : 12). Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran
desain pendidikan Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma
pendidikan Islam dalam menghadapi perkembangan perubahan zaman modern
dan memasuki era milenium ketiga. Karena, “kecenderungan perkembangan
semacam dalam mengantisipasi perubahan zaman merupakan hal yang
wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat sekarang ini lebih bersifat
praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap pendidikan”
(S.R.Parker, 1990), sehingga tidak statis atau hanya berjalan di tempat
dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat
modern dan post masyarakat modern. Untuk itu, Pendidikan dalam
masyarakat modern, pada dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan
antara anak didik dengan lingkungan sosiokulturalnya yang terus berubah
dengan cepat, dan pada saat yang sama, pendidikan secara sadar juga
digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam sistem politik,
ekonomi secara keseluruhan. Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan
oleh Ace Suryadi dan H.A.R. Tilar (1993), tidak lagi dipandang sebagai
bentuk perubahan kebutuhan yang bersifat konsumtif dalam pengertian
pemuasan secara langsung atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat
sementara. Tapi, merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia
(human investment) yang merupakan tujuan utama ; pertama, pendidikan
dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan untuk bekerja
lebih produktif sehingga dapat meningkatkan penghasilan kerja lulusan
pendidikan di masa mendatang. Kedua, pendidikan diharapkan memberikan
pengaruh terhadap pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan (equality
of education opportunity) (A.Malik Fadjar, 1995 : 1). Selain itu dalam
menghadapi era milenium ketiga ini nampaknya pendidikan Islam harus
menyiapkan sumber daya manusia yang lebih handal yang memiliki
kompotensi untuk hidup bersama dalam era global. Menurut Djamaluddin
Ancok (1998 : 5), “salah satu pergeseran paradigma adalah paradigma di
dalam melihat apakah kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan
bisa diramalkan (predictability). Pada milenium kedua orang selalu
berpikir bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi.
Tetapi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya
stabilitas tersebut. Apa yang terjadi di depan semakin sulit untuk
diprediksi karena perubahan menjadi tidak terpolakan dan tidak lagi
bersifat linier”. Maka, pendidikan Islam sekarang ini disainnya tidak
lagi bersifat linier tetapi harus didisan bersifat lateral dalam
menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat dan tidak terpolakan. Untuk
itu, lebih lanjut Djamaluddin Ancok yang mengutip Hartanto : 1997:
Hartanto, Raka & Hendroyuwono, 1998, mengatakan bahwa pendidikan
(termasuk pendidikan Islam) harus mempersiapkan ada empat kapital yang
diperlukan untuk memasuki milenium ketiga, yakni kapital intelektual,
kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spritual. Tantangan ini
tidak muda untuk penyelesaiannya, tidak seperti membalik telapak tangan.
Untuk itu, pendidikan Islam sangat perlu mengadakan perubahan atau
mendesain ulang konsep, kurikulum dan materi, fungsi dan tujuan
lembaga-lembaga, proses, agar dapat meneuhi tuntatan perubahan yang
semakin cepat.
PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa : (1) Dalam menghadapi perubahan masyarakat modern,
secara internal pendidikan Islam harus menyelesaikan
persoalan dikotomi, tujuan dan fungsi
lembaga pendidikan Islam, dan persolalan kurikulum atau materi yang
sampai sekarang ini belum terselesaikan. (2) Lembagalembaga pendidikan
Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikan, dengan memilih model
pendidikan yang relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat.
(3) Pendidikan Islam didisain untuk dapat membantu meningkatkan
ketrampilan dan pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat
meningkatan kerja lulusan pendidikan di masa datang. Selain itu perlu
disain pendidikan Islam yang tidak hanya bersifat linier saja, tetapi
harus bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu
cepat. (4) Pendidikan Islam harus mengembangkan kualitas pendidikannya
agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang selalu
berubah-berubah. Lembaga-lembaga pendidikan Islami harus dapat
menyiapkan sumber insani yang lebih handal dan memiliki kompotensi untuk
hidup bersama dalam ikatan masyarakat modern.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa
Madrasati wal Mujtama’, Dar al-Fikr al-Mu’asyr, Beirut-Libanon., Terj.
Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema
Insani Press, Jakarta, 1995.
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam
Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana,
Yogyakarta, 1991.
——– Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui
Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar, 1997.
A.Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan
Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan
Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN,Cirebon, tanggal, 31
Agustus s/d 1 September 1995.
Anwar Jasin, Keranka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan
Filosofis, 1985.
Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama
Islam, Amissco,Jakarta, 1996.
Comference Book,London, 1978.
Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga,
Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun
III, UII, 1998.
Djohar, Omong Kosong, Tanpa Mengubah UU No. 2/89, Koran Harian “Kedaulatan Rakyat”,
Tangga, 4 Mei 199.
Erich Fromm, The Revolution of Hope : Toward a Humanized Technology, New
York: Harper & Raw, 1968, p. 5.,dalam Syafi’i Ma’arif, Pengembangan
Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru
Yang Lebih Efektif, 1997.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition,
TheUniversityofChicago, Chicagi, 1982., terj. Ahsin Mohammad,
Pustaka, 1985.
H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif
Abad 21, TeraIndonesia, Magelang, Cet. I, 1998.
S.R. Parker, et.al, Sosiologi Industri, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun
2000, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta,
Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya, 1991.
Syed Sajjad Husaian dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Educatio“., Terj.
Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah, Bandung, 1986.
Roehan Achwan, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, Jurnal Pendidikan
Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalija, Yogyakarta, 1991.
M.Dimyati Machmud, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta, BPFE, 1990.
M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan
Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam
Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995.
M.Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam
Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, editor, Muslih
Usa, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet.1, 1991.
Paulo Freire,dkk., Menggugat Pendidikan Fundamental Konservatif Liberal
Anarkis, Terj., Omi Intan Naomi, Pustaka Pelajar, 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar