Dalam risalah
kaderisasi manhaj 1427 H yang dirumuskankan oleh tim kaderisasi KAMMI
pusat, ada beberapa poin penting yang menjadi titik tekan dalam
mendesain kader KAMMI. Point penting tersebut adalah KAMMI mampu
menciptakn kader yang berorientasi pada profil muslim negarawan. Profil
muslim negarawan dalam definisi risalah kaderisasi adalah kader KAMMI
yang memiliki basis idiologi islam yang mengakar, basis pengetahuan dan
pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada
pemecahan problematika umat dan bangsa serta mampu menjadi perekat
komponen bangsa pada upaya perbaikan.
Dalam pandangan saya, profil muslim negarawan merupakan sebuah konsep ideal yang coba ditawarkan sebagai solusi atas krisis kepemimpinan yang terjadi selama ini. Oleh karenanya, profil muslim negarawan harus di praksiskan (diimplementasikan) secara ”radikal” di tingkatan kader. Oleh karenanya, seorang kader KAMMI harus mampu menyesuaikan diri dengan konsep tersebut, bahkan wajib hukumnya. Lalu perangkat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang kader KAMMI dalam rangka mencapai tujuan tersebut?. Pertanyaan ini menarik untuk dimunculkan dalam kepala kita. Tentu saja ketika kita mencoba membumikan profil muslim negarawan tersebut, tentu kita harus punya modal untuk menuju ke arah tersebut.
Menurut saya, ada beberapa poin yang harus dimiliki oleh kader KAMMI untuk mengejawantahkan profil muslim negarawan tersebut. Yang pertama adalah intelectual capital atau modal intelektual, kedua spiritualitas sosial dan ketiga adalah peran KAMMI dalam politik kampus dalam hal ini adalah keterlibatan kader dalam lembaga intra kampus. Oleh karenanya tulisan ini akan membahas lebih jauh tentang ketiga poin penting terebut.
Modal Intelektual
Salah satu modal terbesar yang harus-bahkan wajib-dimiliki oleh generasi muda termasuk kader KAMMI adalah modal intelektual (intelectual capital). Untuk mengejawantahkan profil muslim negarawan, maka kader KAMMI harus memiliki intelektual yang mapan. Tapi sebelumnya, rasa-rasanya kita harus menyatukan pemahaman kita tentang makna intelektual. Karena kalau tidak seperti itu, maka akan muncul multi pretasi atas itu, sehinga pemaknaan terhadap intelektual akan bias. Untuk itu, pertanggungjawaban secara epistemologi (tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan) adalah mutlak hukumnya.
Jalaludin Rahmat mendefinisikan intelektual sebagai gabungan dari ilmuwan, teknokrat dan moralis. Ilmuwan adalah orang yang bergelut dengan data dan gagasan analitis. Teknokrat adalah orang yang bergelut dalam penerapan paktis, sedangkan moralis adalah orang yang berjuang untuk menegakan dan menyebarakan gagasan normatif. Oleh karenanya, kalau kita mengacu pada definisi tersebut, maka ketiga variabel tersebut harus dimiliki oleh kader KAMMI. Sehingga KAMMI sebagai organisasi kader (harokatut tajnid) dan organisasi pergerakan (harokatut amal) mampu menjadikan kadernya sebagai bangunan yang kokoh karena kemapanan intelektualnya.
Dari uraian di atas, muncul pertanyaan, kenapa harus modal intelektual?. Jelas. Modal intelektual mutlak dimiliki oleh anak bangsa sebagai perangkat untuk membaca dan menganalisa fenomena yang terjadi di sekitarnya. Semakin banyak mengkaji wacana-wacana sosial maka akan semakin peka dan semakin tinggi pembacaannya tentang kondisi kebangsaan yang terjadi hari ini.
Kadang-kadang kita mendikotomikan (memisahkan) bahwa wacana-wacana sosial hanyalah milik segelintir orang yang bergelut dengan ilmu-ilmu sosial. Sehingga merekalah yang menjadi pengguna yang sah atas ilmu tersebut. Padahal, ilmu-ilmu sosial merupakan perangkat analisa yang paling tepat dalam menganalisa fenomena sosial yang terjadi di masyarakat kita. Di sisi lain, ada ”pengkafiran” terhadap terhadap buku-buku tertentu, lantaran diangap ke-kiri-an atau ke- kanan-an atau ekstrimlah. Bukankah ilmu adalah sesuatu yang bebas nilai?. Kenapa kita takut bersentuhan dengan buku-buku yang terlanjur kita anggap sebagai buku ”kiri”. Walaupun sebenanya saya tidak sepakat dengan pengelompokan seperti itu. Ada banyak alasan atau justifikasi untuk tidak bersentuhan dengan buku yang terlanjur diangap kiri tersebut.
Alasan sederananya adalah takut terpengaruh oleh doktrin buku tersebut. Penulis berpendapat, kalau demikian keadaannya, maka sebaiknya orientasi membaca buku itu yang perlu kita luruskan. Jangan bukunya yang kita kafirkan atau dianggap kiri. Dalam pahaman penulis, tujuan membaca buku adalah untuk menambah referensi tentang bacaan kita bukan untuk mengambil mentah-mentah apa yang diajarkan atau doktrin buku tersebut. Pola pikir seperti ini harus diruntuhan dalam alam pemikiran kader KAMMI, agar tidak ketinggalan dari kader-kader dari elemen gerakan lain.
KAMMI dan Politik Kampus
Tidak bisa dipungkiri, bahwa kampus adalah tempat bersemayamnya cadangan pemimpin masa depan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa tokoh-tokoh besar dan berpengaruh pernah digembleng di kampus. Soekarno-Hatta misalnya. Kedua tokoh ini menjadi founding father bangsa ini dan menjadi tokoh sentral dalam sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa indonesia. Kampus sebagai miniatur suatu negara, menjadi tempat yang layak, karena di dalamnya terjadi proses kaderisasi untuk menyemai benih-benih pemimpin bangsa.
KAMMI sebagai organisasi yang berbasis ekstra kampus harus mampu memanfaantkan potensi ini. Untuk memainkan peran itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh KAMMI dalam mengoptimalkan perannya di ranah politik kampus. Pertama, penguatan kaderisasi. Pembentukan kader yang memiliki kualitas intelektual dan kepahaman sisah (politik) serta pengetahuan organisasi yang mapan mutlak dilakukan dilakoni oleh KAMMI. Proses kaderisasi tidak lagi terfokus atau bermain pada wilayah mushallah, sudah saatnya kaderisasi siyasah diserahkan sepenuhnya kepada KAMMI.
Sebagai sebuah organisasi siasah, tentunya KAMMI harus mempertegas posisinya serta lebih cerdas memainkan perannya dalam hal keterlibatanya pada tataran kebijakan kampus. Untuk itu, penguatan basis kader adalah syarat mutlak untuk terlibat politik kampus termasuk dalam hal keterlibatannya di struktur lembaga kemahasiswaan. Di lingkup Sulsel atau boleh dibilang indonesia bagian timur ecara umum, bahwa penguatan kader di tingkat cultur (di fakultas) masih belum optimal bahkan minim dari segi kuantitas. Maka jangan heran bila kader KAMMI selalu dipersepsikan sebagai kader mushallah tulen.
Sehingga, ketika ada kepentingan yang ingin digolkan, tak jarang terjadi pertarungan wacana antara kelompok yang anti mushalla. Bisa jadi, konflik tersebut dipicu karena style yang kita bawa sangat eksklusif sehingga komunikasi tidak terbangun dengan kuat. Dalam bahasa sederhananya adalah dakwah masih bersifat tertutup yakni masih berkutat pada mushallah dan sejenisnya. Tyidak ada maksud untuk menjauhkan kader KAMMI dari rahim asalnya. Penulis sadar betul, bahwa KAMMI lahir dari rahim masjid kampus. Namun sangat disayangkan untuk kondisi sekarang ini, kita masih terlena pada wilayah tersebut. Sekarang, sudah saatnya KAMMI hengkang dari mushallah dan berkonsentrasi secara total di wilayah siyasa untuk membangun basis yang kuat di tingkat lembaga kemahasiswaan. Biarkanlah mereka yang diberi amanah mengurus mushollah untuk mengawalnya. Sehingga akhirnya nanti hubungan yang terbangun adalah hubungan koordinasi dan saling menguatkan.
Kedua, terlibat dalam struktur lembaga internal kemahasiswaan. Hal ini perlu, mengingat kebutuhan dakwah kampus sebahagian besar sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan yang sifatnya birokratis atau berasal dari struktur kelembagaan. Oleh karenanya, membangun komunikasi yang baik dan intens dengan tokoh-tokoh mahasiswa dan penentu kebijkan ditingkat lembaga kemahasiswaan adalah suatu keharusan.
Ketiga, membangun komunikasi dan membuka jaringan dengan pihak pengambil kebijakan di tingkat fakultas dan universitas. Dan yang tak kalah pentingnya juga adalah membangun komunikasi dengan perangkat kampus yang lainnya seperti unit kegiatan mahasiswa (UKM) dan penerbit kampus maupun radio kampus. Hal ini perlu, mengingat misi dakwah lewat jalur siyasah yang kita bawa tersebat dengan cepat dan diterima oleh semua elemen kampus.
Keempat, membangun ketokohan. Disadari atau tidak, ketokohan merupakan suatu hal penting yang dapat mempengaruhi tingkat penerimaan terhadap suatu oraganiasi yang representasikan. Sehingga pencitraan terhadap oraganisasi yang diwakilinya juga akan semakin bagus. KAMMI pun harus meakukan hal yang serupa. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk memunculkan ketokohan. Misalnya melalui forum diskusi, bedah buku, seminar dan menyampaikan gagasan sert ide-ide cerdas melalui media, baik di tingkat kampus maupun media massa atau bila perlu dengan menulis dan menerbitkan buku.
Spiritualitas Sosial
Salah satu perdebatan yang menggairahkan dikalangan aktivis dakwah adalah bagaimana mengejawantahkan nila-nilai ke-Tuhan-an dalam diri kita atau disebut dengan kesalehan pribadi. Selama ini, orientasi dakwah hanya berkutat pada upaya mewujudkan kesalehan pribadi bukan pada kesaehan social. Maka jangan heran, kalo ada kelompok dakwah yang mengklaim merekalah yang paling benar. Kondisi ini sangat rentan dengan konflik internal. Misbah Sohim Haris menegaskan bahwa makna dakwah yang lebih luas adalah upaya untuk menciptakan sebuah komunitas yang meniti dan memegangi kebenaran dan kebaikan. Jadi, tujuan dakwah yang paling tinggi adalah terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang baik, indah, tinggi dan luhur atau dalam terminologinya Fazlur Rahman disebut sebagai sebuah masyarakat yang imani dan menjujung tinggi nilai kemanusiaan. Masyarakat yang bertauhid, egaliter dan berkeadilan.
Dalam apaya mewujudkan profil muslim negarawan maka kader KAMMI harus mampu mendorong kearah terciptanya pribadi yang memiliki kesalehan sosial. Kesalehan sosial merupakan modal utama dalam tataran praksisnya (proses implementasinya). Bukankah seorang yang beriman adalah orang yang paling kritis terhadap situasi dan kondisi sosialnya?. Sehingga ia dapat berbuat sesuatu untuk kondisi sosialnya dan berbuat sesuatu untuk mengubah kondsi buruk menjadi kondisi yang kondusif sehingga dapat menjamin kehidupan bersama.
Dalam pandangan penulis modal intelektual, kampus dan spiritualitas sosial adalah pilar utama dalam upaya mendorong ke arah profil muslim negarawan. Modal intelektual adalah perangkat keras sebagai salah satu prasyarat untuk mendorong ke arah terwujudnya profil muslim negarawan. Kampus adalah perangkat pendukung dalam menciptakan dan menumbuhkan modal intelektual. Proses di kampus sifatnya temporal atau sementara.
Sedangkan spiritualitas sosial adalah kemestian yang harus dimiliki dalam rangka membumikan nilai-nilai ketuhanan dalam suatu masyarakat. Proses yang berlangsung di dalam masyarakat bersifat kontemporer. Oleh karenanya KAMMI sebagai organisasi kader (harokatut tajnid) dan organisasi pergerakan (harokatut amal) harus mampu mengkondisikan kadernya untuk memiliki ketiga pilar tersebut. Sebab kalau tidak, maka KAMMI tidak akan mampu melahirkan tokoh yang mengakar. Kemudian lambat laun KAMMI mati secara mengenaskan . Wallahulambishowaab.
Dalam pandangan saya, profil muslim negarawan merupakan sebuah konsep ideal yang coba ditawarkan sebagai solusi atas krisis kepemimpinan yang terjadi selama ini. Oleh karenanya, profil muslim negarawan harus di praksiskan (diimplementasikan) secara ”radikal” di tingkatan kader. Oleh karenanya, seorang kader KAMMI harus mampu menyesuaikan diri dengan konsep tersebut, bahkan wajib hukumnya. Lalu perangkat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang kader KAMMI dalam rangka mencapai tujuan tersebut?. Pertanyaan ini menarik untuk dimunculkan dalam kepala kita. Tentu saja ketika kita mencoba membumikan profil muslim negarawan tersebut, tentu kita harus punya modal untuk menuju ke arah tersebut.
Menurut saya, ada beberapa poin yang harus dimiliki oleh kader KAMMI untuk mengejawantahkan profil muslim negarawan tersebut. Yang pertama adalah intelectual capital atau modal intelektual, kedua spiritualitas sosial dan ketiga adalah peran KAMMI dalam politik kampus dalam hal ini adalah keterlibatan kader dalam lembaga intra kampus. Oleh karenanya tulisan ini akan membahas lebih jauh tentang ketiga poin penting terebut.
Modal Intelektual
Salah satu modal terbesar yang harus-bahkan wajib-dimiliki oleh generasi muda termasuk kader KAMMI adalah modal intelektual (intelectual capital). Untuk mengejawantahkan profil muslim negarawan, maka kader KAMMI harus memiliki intelektual yang mapan. Tapi sebelumnya, rasa-rasanya kita harus menyatukan pemahaman kita tentang makna intelektual. Karena kalau tidak seperti itu, maka akan muncul multi pretasi atas itu, sehinga pemaknaan terhadap intelektual akan bias. Untuk itu, pertanggungjawaban secara epistemologi (tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan) adalah mutlak hukumnya.
Jalaludin Rahmat mendefinisikan intelektual sebagai gabungan dari ilmuwan, teknokrat dan moralis. Ilmuwan adalah orang yang bergelut dengan data dan gagasan analitis. Teknokrat adalah orang yang bergelut dalam penerapan paktis, sedangkan moralis adalah orang yang berjuang untuk menegakan dan menyebarakan gagasan normatif. Oleh karenanya, kalau kita mengacu pada definisi tersebut, maka ketiga variabel tersebut harus dimiliki oleh kader KAMMI. Sehingga KAMMI sebagai organisasi kader (harokatut tajnid) dan organisasi pergerakan (harokatut amal) mampu menjadikan kadernya sebagai bangunan yang kokoh karena kemapanan intelektualnya.
Dari uraian di atas, muncul pertanyaan, kenapa harus modal intelektual?. Jelas. Modal intelektual mutlak dimiliki oleh anak bangsa sebagai perangkat untuk membaca dan menganalisa fenomena yang terjadi di sekitarnya. Semakin banyak mengkaji wacana-wacana sosial maka akan semakin peka dan semakin tinggi pembacaannya tentang kondisi kebangsaan yang terjadi hari ini.
Kadang-kadang kita mendikotomikan (memisahkan) bahwa wacana-wacana sosial hanyalah milik segelintir orang yang bergelut dengan ilmu-ilmu sosial. Sehingga merekalah yang menjadi pengguna yang sah atas ilmu tersebut. Padahal, ilmu-ilmu sosial merupakan perangkat analisa yang paling tepat dalam menganalisa fenomena sosial yang terjadi di masyarakat kita. Di sisi lain, ada ”pengkafiran” terhadap terhadap buku-buku tertentu, lantaran diangap ke-kiri-an atau ke- kanan-an atau ekstrimlah. Bukankah ilmu adalah sesuatu yang bebas nilai?. Kenapa kita takut bersentuhan dengan buku-buku yang terlanjur kita anggap sebagai buku ”kiri”. Walaupun sebenanya saya tidak sepakat dengan pengelompokan seperti itu. Ada banyak alasan atau justifikasi untuk tidak bersentuhan dengan buku yang terlanjur diangap kiri tersebut.
Alasan sederananya adalah takut terpengaruh oleh doktrin buku tersebut. Penulis berpendapat, kalau demikian keadaannya, maka sebaiknya orientasi membaca buku itu yang perlu kita luruskan. Jangan bukunya yang kita kafirkan atau dianggap kiri. Dalam pahaman penulis, tujuan membaca buku adalah untuk menambah referensi tentang bacaan kita bukan untuk mengambil mentah-mentah apa yang diajarkan atau doktrin buku tersebut. Pola pikir seperti ini harus diruntuhan dalam alam pemikiran kader KAMMI, agar tidak ketinggalan dari kader-kader dari elemen gerakan lain.
KAMMI dan Politik Kampus
Tidak bisa dipungkiri, bahwa kampus adalah tempat bersemayamnya cadangan pemimpin masa depan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa tokoh-tokoh besar dan berpengaruh pernah digembleng di kampus. Soekarno-Hatta misalnya. Kedua tokoh ini menjadi founding father bangsa ini dan menjadi tokoh sentral dalam sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa indonesia. Kampus sebagai miniatur suatu negara, menjadi tempat yang layak, karena di dalamnya terjadi proses kaderisasi untuk menyemai benih-benih pemimpin bangsa.
KAMMI sebagai organisasi yang berbasis ekstra kampus harus mampu memanfaantkan potensi ini. Untuk memainkan peran itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh KAMMI dalam mengoptimalkan perannya di ranah politik kampus. Pertama, penguatan kaderisasi. Pembentukan kader yang memiliki kualitas intelektual dan kepahaman sisah (politik) serta pengetahuan organisasi yang mapan mutlak dilakukan dilakoni oleh KAMMI. Proses kaderisasi tidak lagi terfokus atau bermain pada wilayah mushallah, sudah saatnya kaderisasi siyasah diserahkan sepenuhnya kepada KAMMI.
Sebagai sebuah organisasi siasah, tentunya KAMMI harus mempertegas posisinya serta lebih cerdas memainkan perannya dalam hal keterlibatanya pada tataran kebijakan kampus. Untuk itu, penguatan basis kader adalah syarat mutlak untuk terlibat politik kampus termasuk dalam hal keterlibatannya di struktur lembaga kemahasiswaan. Di lingkup Sulsel atau boleh dibilang indonesia bagian timur ecara umum, bahwa penguatan kader di tingkat cultur (di fakultas) masih belum optimal bahkan minim dari segi kuantitas. Maka jangan heran bila kader KAMMI selalu dipersepsikan sebagai kader mushallah tulen.
Sehingga, ketika ada kepentingan yang ingin digolkan, tak jarang terjadi pertarungan wacana antara kelompok yang anti mushalla. Bisa jadi, konflik tersebut dipicu karena style yang kita bawa sangat eksklusif sehingga komunikasi tidak terbangun dengan kuat. Dalam bahasa sederhananya adalah dakwah masih bersifat tertutup yakni masih berkutat pada mushallah dan sejenisnya. Tyidak ada maksud untuk menjauhkan kader KAMMI dari rahim asalnya. Penulis sadar betul, bahwa KAMMI lahir dari rahim masjid kampus. Namun sangat disayangkan untuk kondisi sekarang ini, kita masih terlena pada wilayah tersebut. Sekarang, sudah saatnya KAMMI hengkang dari mushallah dan berkonsentrasi secara total di wilayah siyasa untuk membangun basis yang kuat di tingkat lembaga kemahasiswaan. Biarkanlah mereka yang diberi amanah mengurus mushollah untuk mengawalnya. Sehingga akhirnya nanti hubungan yang terbangun adalah hubungan koordinasi dan saling menguatkan.
Kedua, terlibat dalam struktur lembaga internal kemahasiswaan. Hal ini perlu, mengingat kebutuhan dakwah kampus sebahagian besar sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan yang sifatnya birokratis atau berasal dari struktur kelembagaan. Oleh karenanya, membangun komunikasi yang baik dan intens dengan tokoh-tokoh mahasiswa dan penentu kebijkan ditingkat lembaga kemahasiswaan adalah suatu keharusan.
Ketiga, membangun komunikasi dan membuka jaringan dengan pihak pengambil kebijakan di tingkat fakultas dan universitas. Dan yang tak kalah pentingnya juga adalah membangun komunikasi dengan perangkat kampus yang lainnya seperti unit kegiatan mahasiswa (UKM) dan penerbit kampus maupun radio kampus. Hal ini perlu, mengingat misi dakwah lewat jalur siyasah yang kita bawa tersebat dengan cepat dan diterima oleh semua elemen kampus.
Keempat, membangun ketokohan. Disadari atau tidak, ketokohan merupakan suatu hal penting yang dapat mempengaruhi tingkat penerimaan terhadap suatu oraganiasi yang representasikan. Sehingga pencitraan terhadap oraganisasi yang diwakilinya juga akan semakin bagus. KAMMI pun harus meakukan hal yang serupa. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk memunculkan ketokohan. Misalnya melalui forum diskusi, bedah buku, seminar dan menyampaikan gagasan sert ide-ide cerdas melalui media, baik di tingkat kampus maupun media massa atau bila perlu dengan menulis dan menerbitkan buku.
Spiritualitas Sosial
Salah satu perdebatan yang menggairahkan dikalangan aktivis dakwah adalah bagaimana mengejawantahkan nila-nilai ke-Tuhan-an dalam diri kita atau disebut dengan kesalehan pribadi. Selama ini, orientasi dakwah hanya berkutat pada upaya mewujudkan kesalehan pribadi bukan pada kesaehan social. Maka jangan heran, kalo ada kelompok dakwah yang mengklaim merekalah yang paling benar. Kondisi ini sangat rentan dengan konflik internal. Misbah Sohim Haris menegaskan bahwa makna dakwah yang lebih luas adalah upaya untuk menciptakan sebuah komunitas yang meniti dan memegangi kebenaran dan kebaikan. Jadi, tujuan dakwah yang paling tinggi adalah terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang baik, indah, tinggi dan luhur atau dalam terminologinya Fazlur Rahman disebut sebagai sebuah masyarakat yang imani dan menjujung tinggi nilai kemanusiaan. Masyarakat yang bertauhid, egaliter dan berkeadilan.
Dalam apaya mewujudkan profil muslim negarawan maka kader KAMMI harus mampu mendorong kearah terciptanya pribadi yang memiliki kesalehan sosial. Kesalehan sosial merupakan modal utama dalam tataran praksisnya (proses implementasinya). Bukankah seorang yang beriman adalah orang yang paling kritis terhadap situasi dan kondisi sosialnya?. Sehingga ia dapat berbuat sesuatu untuk kondisi sosialnya dan berbuat sesuatu untuk mengubah kondsi buruk menjadi kondisi yang kondusif sehingga dapat menjamin kehidupan bersama.
Dalam pandangan penulis modal intelektual, kampus dan spiritualitas sosial adalah pilar utama dalam upaya mendorong ke arah profil muslim negarawan. Modal intelektual adalah perangkat keras sebagai salah satu prasyarat untuk mendorong ke arah terwujudnya profil muslim negarawan. Kampus adalah perangkat pendukung dalam menciptakan dan menumbuhkan modal intelektual. Proses di kampus sifatnya temporal atau sementara.
Sedangkan spiritualitas sosial adalah kemestian yang harus dimiliki dalam rangka membumikan nilai-nilai ketuhanan dalam suatu masyarakat. Proses yang berlangsung di dalam masyarakat bersifat kontemporer. Oleh karenanya KAMMI sebagai organisasi kader (harokatut tajnid) dan organisasi pergerakan (harokatut amal) harus mampu mengkondisikan kadernya untuk memiliki ketiga pilar tersebut. Sebab kalau tidak, maka KAMMI tidak akan mampu melahirkan tokoh yang mengakar. Kemudian lambat laun KAMMI mati secara mengenaskan . Wallahulambishowaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar