Pendidikan dan Moralitas (Perspektif Sosiologi)
BAB I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang Masalah
Tidaklah terlalu
naif jika kita mengatakan bahwa pendidikan kita (Indonesia) adalah
faktor utama dari keterpurukan moralitas. Harus diakui bahwa selama ini
sistem pendidikan kita, khususnya pendidikan agama, masih sangat sedikit
mengajarkan akhlak atau moralitas, atau hal tersebut hanya diajarkan
sebagai sebuah wacana dan teori tanpa banyak menyentuh aspek afektif dan
psikomotor. Bahkan tak jarang pendidikan kita minus keteladanan.
PendidikanIndonesiasaat ini
merupakan hasil dari kebijaksanaan politik pemerintahIndonesiaselama
ini. Mulai dari pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
PendidikanIndonesiamasih mementingkan pendidikan yang bersifat dan
berideologi materialisme-kapitalisme. Ideologi pendidikan yang demikian
ini memang secara teoritis tidak nampak, akan tetapi secara praktis
merupakan realitas yang tidak dapat dibantah lagi. Materialisasi atau
proses menjadikan semua bernilai materi telah merusak di segala sendi
sistem pendidikanIndonesia, termasuk pendidikan Islam. Sendi-sendi yang
dimasuki bukan hanya dalam materi pelajaran, pendidik, peserta didik,
manajemen, lingkungan, akan tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri.
Jika tujuan pendidikan telah mengarah ke hal-hal yang bersifat materi,
maka apa yang diharapkan dari proses pendidikan tersebut.
Akumulasi dari problem
pendidikan yang tersebut diatas adalah, seringkali kita menyaksikan,
mendengarkan, melihat atau bahkan melakukan perilaku-perilaku yang tidak
bermoral. Misal, pencurian, pembunuhan, peemerkosaan, menjual diri
(PSK), KKN, dan sejenisnya yang tiap harinya masih menempati tempat
utama dimedia elektronik, media masa, dengan jumlah yang paling banyak.
Dari pemaparan diatas ada beberapa hal yang akan dibahas dalam makalah ini, yakni : Solusi atas keterpurukan moralitas dalam dunia pendidikan kita ditinjau dari perspektif sosiologi.
- B. Rumusan Masalah
- Apa yang di makdud dengan pendidikan dan moral?
- Signifikansi Peran Pendidikan Dalam Mengatasi Persoalan Moralitas
- Bagaimana Solusi Pendidikan Atas Permasalahan Moralitas?
BAB II
PEMBAHASAN
- A. Definisi Pendidikan dan Moral
Dari
sudut padang manusia, pendidikan ialah proses sosialisasi, yakni
memasyarakatkan nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam
kehidupan. Emile Durhaim dalam karyanya education and sociology (1956) berpendapat
bahwa pendidikan merupakan kelanggengan kehidupan manusia itu sendiri,
yaitu mampu hidup konsisten mengatasi ancaman dan tantangan masa
depan.[1]
Adapun Defisien/defek moral adalah kondisi individu yang hidupnya delinquent (nakal, jahat), selalu
melakukan kejahatan, dan bertingkah laku a-sosial atau anti social;
namun tanpa penyimpangan atau gangguan organic pada fungsi inteleknya,
hanya saja inteleknya tidak berfungsi, sehingga terjadi kebekuan moral
yang kronis.[2]
Sikap moral yang
sebenarnya disebut moralitas. Moralitas diartikan sebagai sikap hati
orang yang terungkap dalam tindakan lahiriyah. Moralitas terjadi apabila
orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kejiwaan dan
tanggung jawab dan bukan untuk mecari keuntungan. Jadi moralitas adalah
sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih.
- B. Signifikansi Peran Pendidikan Dalam Mengatasi Persoalan Moralitas
Saat ini
manusiaIndonesiamengalami pergeseran dalam aspek moralitas. Pergeseran
itu terjadi pada pandangan masyarakat tentang konsep moralitas itu
sendiri. Moralitas di sini dipahami sebagai konsep tentang moral atau
kebaikan atau baiknya sesuatu yang telah dikonstruksi oleh masyarakat.
Sebagai salah satu contoh
adalah pandangan konsep moralitas hasil konstruksi para penjajah.
Pemahaman tersebut dikonstruk sedemikian rupa ketika penjajah berkuasa
diIndonesia, yang mempunyai konskuensi konsepsi tentang moral harus
mengikuti konstruksi masyarakat penjajah. Sedangkan ideologi para
penjajah adalah materialisme-kapitalis, Maka sesuatu atau seseorang
dianggap baik dan bermoral ketika sesuatu itu bermanfaat dan berguna
secara materiil. Seseorang dikatakan kurang moralitas dan nilainya di
hadapan masyarakat ketika seseorang itu tidak mampu memberikan manfaat
dan kegunaan secara materiil. Orang yang dianggap berhasil dan bermoral
adalah seseorang yang telah memiliki jabatan, kekayaan, dan harta lebih
dari orang tuanya. Demikianlah pergesaran yang terjadi sebagai akibat
terjadinya penjajahan diIndonesia.
Pada saat yang lain bahwa
pergeseran moralitas masyarakat sedikit banyak dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pengetahuan. Sedikit mengingat cerita Socrates, ia
pernah prihatin dan menangis pada penemuan kemajuan ilmu pengetahuan.
Kekhawatiran filosof Yunani itu yang mengandung keprihatinan bahkan
ketakutan mendalam bagi penguasa Yunani ketika itu. Kemudian Socrates
mencoba memasukkan ajaran moral ke dalam sendi-sendi kekuatan dan
politik. Kemampuan intutitif dan kognitif, Socrates memberi argumen
kepada rakyat sehingga mematahkan “puisi-puisi” penguasa tentang
pentingnya moral dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. [3]
Einstein, juga mengatakan
“dalam peperangan ilmu menyebabkan kita saling meracuni dan menjegal.
Dalam perdamaian, ia (ilmu) membuat hidup dikejar waktu dan penuh tak
tentu. Mengapa ilmu yang mudah ini menghemat kerja dan membuat hidup
kita lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali bagi
kita kepada kita?” benarkah tentang apa yang dikatakan Einstein dan
diprihatinkan Socrates itu?
Einstein dan Socrates mungkin
benar, ilmu pengetahuan ternyata mendatangkan malapetaka bagi manusia.
Ilmu pengetahuan politik, ekonomi, sosial, informasi dan komunikasi,
teknologi dan militer dapat saja mendatangkan kesejahteraan, sekaligus
menimbulkan malapetaka bagi manusia. Sosiolog Rene Descartes mengatakan
“ilmu tanpa moral adalah buta, moral tanpa ilmu adalah bodoh”. [4]
Adalah peran pendidikan yang
seharusnya paling dominan dalam mengatasi problematika moralitas bangsa
ini. Realitas mekanisme pendidikan diIndonesia, dengan menempatkan
kreatifitas intelektualitas (mengutamakan kemampuan keilmuan) sebagai
landasan pembangunan negara tapi melupakan kreatifitas moralitas
(pendidikan moral agama/religius) telah menggiringIndonesiake lembah
politik kekerasan. Format pendidikan ditanamkan sejak masa pemerintahan
Hindia Belanda.
Pergeseran pemikiran ke arah
peningkatan kreatifitas moralitas, seimbang dengan kreatifitas
intelektualitas mulai mendapat perhatian pemerintahan. Ini ditandai
dengan kehadiran sistem pendidikan nasional (sisdiknas) yang coba
mengatur mekanisme konsep pendidikan keagamaan/moral. Namun, tiba-tiba
muncul reaksi kebhinekaan, menentang dan mendukung sistem tersebut.
Kemajemukan konsep-konsep moral yang tumbuh di negeri ini masing-masing
pihak mengklaim konsepnya yang paling benar, suasana ini
mengingatkanIndonesiapada awal-awal peletakan moral dasar (Welstanchung)
negara RI, yakni pancasila.
Sesuai dengan teori-teori
sosial yang berkembang, proses pendidikan di Indoensia perlu perevisian
mendalam. Namun persoalannya tentu tidak semudah itu, yang kemudian
muncul adalah rumusan moral (kreativitas moral) apa yang akan
mendampingi pendidikan keilmuan (kreatifitas intelektualitas) di
Indoensia setelah Pancasila belum mampu kalau tidak dikatakan gagal
mewujudkan karakter manusia Indonesiayang bebas dari keterpurukan,
mengingat adanya keragaman konsep-konsep moral yang tumbuh dan hidup
ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Dan proses pemikiran ke arah ini
masih akan terus berlanjut, dan tentunya kita semua mesti turut
berpikir.[5]
- C. Solusi Konsep Pendidikan Atas Permasalahan Moralitas
Sebagimana dijelaskan
diatas bahwa konsep moral yang tumbuh dan hidup ditengah-tengah
masyarakat Indonesia sangat beragam, maka perlu ada solusi setidaknya
sebuah gambaran tawaran yang substansi darinya mencakup dari keragaman
konsep moral tersebut, atau setidaknya mewakili. Dalam hal ini menarik
jika sedikit menelaah konsep pendidikan islam.[6]
Pendidikan Islam adalah
sebagai wahana pembentukan manusia yang bermoralitas tinggi. Di dalam
ajaran Islam moral atau akhlak tidak dapat dipisahkan dari keimanan.
Keimanan merupakan pengakuan hati. Akhlak adalah pantulan iman yang
berupa perilaku, ucapan, dan sikap atau dengan kata lain akhlak adalah
amal shaleh. Iman adalah maknawi (abstrak), sedangkan akhlak adalah
bukti keimanan dalam bentuk perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran
dan karena Allah semata.
Berkaitan dengan pernyataan di
atas bahwa akhlak tidak akan terpisah dari keimanan, dalam al-Qur’an
juga sering dijelaskan bahwa setelah ada pernyataan “orang-orang yang
beriman,” maka langsung diikuti oleh “beramal shaleh.” Dengan kata lain
amal shaleh sebagai manifestasi dari akhlak merupakan perwujudan dari
keimanan seseorang. Pemahaman moralitas dalam bahasa aslinya dikenal
dengan dua istilah yaitu al-akhlaq al-karimah dan al-akhlaq al-mahmudah.
Keduanya memiliki pemahaman yang sama yaitu akhlak yang terpuji dan
mulia, semua perilaku baik, terpuji, dan mulia yang di ridlai Allah.
Dalam pendidikan Islam proses
penghayatan dengan sebenarnya terhadap moralitas menjadi tolok ukur
keberhasilan. Memahami moralitas belum tentu secara otomatis
menghayatinya. Pemahaman terhadap moralitas berarti bahwa segala sesuatu
tentang moralitas sudah jelas baik dan pentingnya untuk dimiliki setiap
peserta didik. Namun pemahaman tersebut barulah terjadi dalam pikiran,
belum tentu meresap ke dalam hati dan perasaan. Berapa banyak hal yang
baik diketahui kebaikan dan manfaatnya bagi kehidupan akan tetapi semua
orang condong untuk tidak menjadikannya sebagai pegangan atau pedoman
dalam hidupnya. Sebaliknya semua orang tahu dan menyadari bahwa sifat
buruk itu tidak baik akan tetapi tidak semua orang mau menghindari atau
meninggalkannya. Masalahnya terletak pada penghayatan terhadap hal-hal
yang baik tersebut.
Menghayati sesuatu berarti
menjadikannya bagian dari kepribadiannya, menyatu, dan tidak terpisahkan
lagi. Jadi menghayati moralitas berarti semua bentuk moralitas yang
telah diketahui itu masuk menjadi bagian dari pribadi dan tidak
terpisahkan lagi. Akibat selanjutnya adalah pandangan hidup, cara
berpikir, dan bersikap akan dipengaruhi oleh sesuatu yang telah dihayati
itu.
Masalah penghayatan bukanlah
sederhana terutama bagi orang dewasa di mana pertumbuhan kepribadiannya
telah selesai pada usia 20 atau 21 tahun. Penghayatan adalah proses
kejiwaan atau proses pendidikan. Dikatakan proses kejiwaan artinya dalam
mengubah kepribadian yang telah terbentuk menjadi kepribadian baru.
Proses tersebut dalam ilmu jiwa dinamakan proses mengulang kembali
pembentukan kepribadian (reconstruction of personality).
Proses kejiwaan yang demikian
itu tidak mudah, harus dilakukan dengan usaha dan secara sadar. Di
antaranya dengan pemahaman bahwa unsur-unsur baru itu ternyata dan
terbukti baik serta diperlukan oleh yang bersangkutan. Perlu pula
diketahui bahwa kepribadian yang telah terbentuk itu tercakup di
dalamnya semua pengalaman akhir masa remaja kira-kira pada usia 20
tahun. Semua pengalaman tersebut ada yang hilang atau terlupa. Oleh
karena itu, unsur-unsur baru yang akan dimasukkan ke dalam pribadi yang
telah terbentuk harus cukup banyak agar dapat menetralisir yang sudah
ada, sehingga berubah menjadi kepribadian bentuk baru. Pengalaman yang
berkaitan dengan unsur baru itu harus banyak pula, agar perubahan
tersebut mantap dan dapat mengubah tindakan yang terjadi akibat
perubahan pribadi tersebut.
Dalam rangka penghayatan
moralitas yang sudah dipahami memerlukan adanya pengalaman-penagalaman
lewat penerapan dalam berbagai keadaan dan kesempatan. Pengalaman itu
akan membawa kepuasan dan kegembiraan yang berhasil dicapai dalam
pergaulan dari reaksi orang yang berhubungan dengannya. Semakin banyak
pengalaman yang menyenangkan tersebut dan semakin diterimanya unsur baru
(moralitas) tersebut, maka semakin banyak pula dorongan untuk
meningkatkan pengalaman yang telah berhasil itu. Di samping itu juga
akan muncul dorongan untuk mengamalkan dan menerapkan berbagai macam
moralitas lainnya. Akhirnya terjadilah penyatuan (internalisasi)
moralitas ke dalam pribadi yang tidak dapat dipisahkan lagi.
Moralitas tersebut perlu
penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan moralitas yang tinggi
bagi pendidik amat penting sebab penampilan, perkataan, akhlak, dan
segala apa yang terdapat padanya dilihat, didengar, dan diketahui oleh
peserta didik. Hal ini semua akan mereka serap dan tiru, dan lebih jauh
akan mempengaruhi pembentukan dan pembinaan akhlak mereka. Oleh karena
itu, seyogyanya setiap pendidik menyadari bahwa peranan dan pengaruhnya
terhadap anak didik amat penting. Jika pengaruh yang terjadi adalah yang
tidak baik, maka kerusakan yang terjadi tidak hanya pada anak itu saja,
melainkan mempengaruhi anak cucu dan keturunannya serta anak didiknya
bila kelak ia menjadi pendidik. [7]
Setelah pemahaman dan
penghayatan akhlak mulia, maka selanjutnya perlu usaha yang
sungguh-sungguh untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
disebabkan perubahan kepribadian dan masuknya moralitas ke dalam
konstruksi kepribadian tidak akan terjadi secara langsung pada perilaku
dan sikap. Apabila seseorang telah memiliki kebiasaan tertentu dalam
menghadapi sesuatu, maka perilaku atau tindakan yang telah menjadi
kebiasaan itu segera terjadi ketika seseorang menghadapi hal yang sama.
Semua proses ini yang paling strategis adalah memalui pendidikan, dalam
konteksIndonesiaadalah pendidikan nasional dan pendidikan Islam.
Pada dasarnya kebiasaan itu
memudahkan orang hidup. Perkataan, perbuatan, gerakan, tingkah laku yang
telah menjadi kebiasaan seringkali terjadi tanpa pikiran, seolah-olah
semua itu terjadi secara otomatis. Karena itulah, maka moralitas yang
belum menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari perlu diingat dan
diusahakan penerapannya setiap saat agar menjadi kebiasaan. Menghentikan
kebiasaan lama dan menggantinya dengan kebiasaan baru memerlukan
pengorbanan dan usaha karena menumbuhkan kebiasaan baru itu membutuhkan
pemikiran, kesadaran, dan kesengajaan. Di lain pihak kebiasaan lama
sering terjadi tanpa proses pengolahan dalam pikiran dan mudah
menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, kemampuan menerapkan moralitas
perlu dibina dan diusahakan dengan sungguh-sungguh.
Demikian pula halnya dengan
berbagai kelakuan yang bertentangan dengan moralitas baik dalam
kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun berbangsa. Untuk
membantu menghentikannya dalam Islam secara tegas ada hukum dan
ketentuan yang melarang perbuatan yang tercela (madzmumah) dengan hukum
haram. Orang tidak dengan sendirinya berhenti dari perbuatan salah atau
dosa yang telah terbiasa dilakukannya setelah memahami dan menghayati
bahwa perbuatan tersebut dilarang Allah dan diancam dengan siksaan bagi
yang melakukannya. Dia perlu berusaha menghentikannya dengan perjuangan
melawan kebiasaan buruk itu dan memohon ampun kepada Allah atas segala
kesalahan tersebut serta berdoa kepada Allah agar diberi-Nya kekuatan
untuk melawan dorongan yang buruk tersebut.
Upaya penerapan moralitas
dalam kehidupan sehari-hari seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan
dari proses pendidikan nasional dan pendidikan Islam baik dalam
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam keluarga metode yang dapat
digunakan adalah peneladanan, sebab segala aktivitas orang tua akan
menjadi panutan bagi putera-puterinya. Ketika di sekolah, guru di
samping menyampaikan pelajaran dengan metode ceramah atau tanya jawab,
juga perlu memberikan teladan yang baik. Sedangkan di dalam masyarakat
pendidikan akhlak ini dapat dilakukan dengan metode nasehat dan
peneladanan, terutama dari para tokoh dan pemimpin masyarakat.
Pendidikan moral dan akhlak
menduduki posisi yang sangat penting dalam percaturan pendidikan di
Indonesia, bahkan bukan hanya dalam aspek pendidikan saja, melainkan
juga bidang kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan ideologi.
Arti penting dari pendidikan moral atau akhlak dapat dilihat dari hasil
pendidikan yang sampai saat ini berlansung. Banyak pemimpin negara yang
lupa akan penderitaan rakyat, hanya mementingkan diri dan kelompoknya,
menindas kaum melarat dan kalah serta tunduk kepada pemilik modal besar
(konglomerat). BangsaIndonesiaakan terus mengalami kemerosotan ekonomi,
politik, dan budaya, ketika pendidikan moral dan akhlak sudah dijadikan
sebagai landasan awal pendidikan nasional. Namun, semua ini tergantung
pada political will para pemimpin negeri ini (Presiden dan DPR atau
ekskutif dan legislatif).
Pembangunan moralitas harus
terus dilaksanakan dari sejak pendidikan dasar, menengah sampai
perguruan tinggi, bahkan sampai ketika seseorang telah menduduki sebuah
jabatan strategis. Semua ini sebagai upaya untuk meneropong masa depan
moralitas bangsa.[8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari apa yang telah dipaparkan
diatas dapat disimpulkan bahwa Sesuai proses pendidikan di Indoensia
perlu perevisian dalam mencari formulasi rumusan moral (kreativitas
moral) apa yang akan mendampingi pendidikan keilmuan (kreatifitas
intelektualitas) di Indoensia.
Pendidikan moral dan akhlak
menduduki posisi yang sangat penting dalam percaturan pendidikan di
Indonesia, bahkan bukan hanya dalam aspek pendidikan saja, melainkan
juga bidang kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan ideologi.
Signifikansi dari pendidikan moral atau akhlak dapat dilihat dari hasil
pendidikan yang sampai saat ini berlansung.
Pembangunan moralitas harus
terus dilaksanakan dari sejak pendidikan dasar, menengah sampai
perguruan tinggi, bahkan sampai ketika seseorang telah menduduki sebuah
jabatan strategis. Semua ini sebagai upaya untuk meneropong masa depan
moralitas bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Rosyadi, Khoirun. Pendidikan profetik. Puataka pelajar.Yogyakarta: 2004
Kartono, Kartini. Patalogi Sosial 3 Gangguan-Gangguan Kejiwaan. PT Raja Grafindo, Persada.Jakarta:2002
Zainuddin, T, http:/www.goggle.com.19 september 2008,18.30
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani, Gramedia, 2002
Budi Hardiman, F. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2004
[1] Khoirun, rosyadi, pendidikan profetik. Pusataka Pelajar.Yogyakarta:2004. Hal:136
[2] Dr. kartini kartono, patalogi social 3 gangguan-gangguan kajiwaan, PT Raja Garaindo.Jakarta: 2002. Hal. 191
[3] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Gramedia, 2002. Hal:45
[4] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2004, Hal: 34
[5] Zainuddin, T, http:/www.goggle.com.19 september 2008,18.30
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar