Jumat, 20 April 2012

Pendidikan dan Moralitas (Perspektif Sosiologi)

Pendidikan dan Moralitas (Perspektif Sosiologi)

BAB I
PENDAHULUAN 
  1. A.     Latar Belakang Masalah
            Tidaklah terlalu naif jika kita mengatakan bahwa pendidikan kita (Indonesia) adalah faktor utama dari keterpurukan moralitas. Harus diakui bahwa selama ini sistem pendidikan kita, khususnya pendidikan agama, masih sangat sedikit mengajarkan akhlak atau moralitas, atau hal tersebut hanya diajarkan sebagai sebuah wacana dan teori tanpa banyak menyentuh aspek afektif dan psikomotor. Bahkan tak jarang pendidikan kita minus keteladanan.
PendidikanIndonesiasaat ini merupakan hasil dari kebijaksanaan politik pemerintahIndonesiaselama ini. Mulai dari pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. PendidikanIndonesiamasih mementingkan pendidikan yang bersifat dan berideologi materialisme-kapitalisme. Ideologi pendidikan yang demikian ini memang secara teoritis tidak nampak, akan tetapi secara praktis merupakan realitas yang tidak dapat dibantah lagi. Materialisasi atau proses menjadikan semua bernilai materi telah merusak di segala sendi sistem pendidikanIndonesia, termasuk pendidikan Islam. Sendi-sendi yang dimasuki bukan hanya dalam materi pelajaran, pendidik, peserta didik, manajemen, lingkungan, akan tetapi juga tujuan pendidikan itu sendiri. Jika tujuan pendidikan telah mengarah ke hal-hal yang bersifat materi, maka apa yang diharapkan dari proses pendidikan tersebut.

Akumulasi dari problem pendidikan yang tersebut diatas adalah, seringkali kita menyaksikan, mendengarkan, melihat atau bahkan melakukan perilaku-perilaku yang tidak bermoral. Misal, pencurian, pembunuhan, peemerkosaan, menjual diri (PSK), KKN, dan sejenisnya yang tiap harinya masih menempati tempat utama dimedia elektronik, media masa, dengan jumlah yang paling banyak.
Dari pemaparan diatas ada beberapa hal yang akan dibahas dalam makalah ini, yakni : Solusi atas keterpurukan moralitas dalam dunia pendidikan kita ditinjau dari perspektif sosiologi.

  1. B.     Rumusan Masalah
    1. Apa yang di makdud dengan pendidikan dan moral?
    2. Signifikansi Peran Pendidikan Dalam Mengatasi Persoalan Moralitas
    3. Bagaimana Solusi Pendidikan Atas Permasalahan Moralitas?
BAB II
PEMBAHASAN
  1. A.     Definisi Pendidikan dan Moral
            Dari sudut padang manusia, pendidikan ialah proses sosialisasi, yakni memasyarakatkan nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan. Emile Durhaim dalam karyanya education and sociology (1956) berpendapat bahwa pendidikan merupakan kelanggengan kehidupan manusia itu sendiri, yaitu mampu hidup konsisten mengatasi ancaman dan tantangan masa depan.[1]
Adapun Defisien/defek moral adalah kondisi individu yang hidupnya delinquent (nakal, jahat), selalu melakukan kejahatan, dan bertingkah laku a-sosial atau anti social; namun tanpa penyimpangan atau gangguan organic pada fungsi inteleknya, hanya saja inteleknya tidak berfungsi, sehingga terjadi kebekuan moral yang kronis.[2]
            Sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Moralitas diartikan sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriyah. Moralitas terjadi apabila orang mengambil sikap yang baik karena ia sadar akan kejiwaan dan tanggung jawab dan bukan untuk mecari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih.
                                   
  1. B.     Signifikansi Peran Pendidikan Dalam Mengatasi Persoalan Moralitas
Saat ini manusiaIndonesiamengalami pergeseran dalam aspek moralitas.  Pergeseran itu terjadi pada pandangan masyarakat tentang konsep moralitas itu sendiri. Moralitas di sini dipahami sebagai konsep tentang moral atau kebaikan atau baiknya sesuatu yang telah dikonstruksi oleh masyarakat.
Sebagai salah satu contoh adalah pandangan konsep moralitas hasil konstruksi para penjajah. Pemahaman tersebut dikonstruk sedemikian rupa ketika penjajah berkuasa diIndonesia, yang mempunyai konskuensi konsepsi tentang moral harus mengikuti konstruksi masyarakat penjajah. Sedangkan ideologi para penjajah adalah materialisme-kapitalis, Maka sesuatu atau seseorang dianggap baik dan bermoral ketika sesuatu itu bermanfaat dan berguna secara materiil. Seseorang dikatakan kurang moralitas dan nilainya di hadapan masyarakat ketika seseorang itu tidak mampu memberikan manfaat dan kegunaan secara materiil. Orang yang dianggap berhasil dan bermoral adalah seseorang yang telah memiliki jabatan, kekayaan, dan harta lebih dari orang tuanya. Demikianlah pergesaran yang terjadi sebagai akibat terjadinya penjajahan diIndonesia.
Pada saat yang lain bahwa pergeseran moralitas masyarakat sedikit banyak dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Sedikit mengingat cerita Socrates, ia pernah prihatin dan menangis pada penemuan kemajuan ilmu pengetahuan. Kekhawatiran filosof Yunani itu yang mengandung keprihatinan bahkan ketakutan mendalam bagi penguasa Yunani ketika itu. Kemudian Socrates mencoba memasukkan ajaran moral ke dalam sendi-sendi kekuatan dan politik. Kemampuan intutitif dan kognitif, Socrates memberi argumen kepada rakyat sehingga mematahkan “puisi-puisi” penguasa tentang pentingnya moral dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. [3]
Einstein, juga mengatakan “dalam peperangan ilmu menyebabkan kita saling meracuni dan menjegal. Dalam perdamaian, ia (ilmu) membuat hidup dikejar waktu dan penuh tak tentu. Mengapa ilmu yang mudah ini menghemat kerja dan membuat hidup kita lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit sekali bagi kita kepada kita?” benarkah tentang apa yang dikatakan Einstein dan diprihatinkan Socrates itu?
Einstein dan Socrates mungkin benar, ilmu pengetahuan ternyata mendatangkan malapetaka bagi manusia. Ilmu pengetahuan politik, ekonomi, sosial, informasi dan komunikasi, teknologi dan militer dapat saja mendatangkan kesejahteraan, sekaligus menimbulkan malapetaka bagi manusia. Sosiolog Rene Descartes mengatakan “ilmu tanpa moral adalah buta, moral tanpa ilmu adalah bodoh”. [4]
Adalah peran pendidikan yang seharusnya paling dominan dalam mengatasi problematika moralitas bangsa ini. Realitas mekanisme pendidikan diIndonesia, dengan menempatkan kreatifitas intelektualitas (mengutamakan kemampuan keilmuan) sebagai landasan pembangunan negara tapi melupakan kreatifitas moralitas (pendidikan moral agama/religius) telah menggiringIndonesiake lembah politik kekerasan. Format pendidikan ditanamkan sejak masa pemerintahan Hindia Belanda.
Pergeseran pemikiran ke arah peningkatan kreatifitas moralitas, seimbang dengan kreatifitas intelektualitas mulai mendapat perhatian pemerintahan. Ini ditandai dengan kehadiran sistem pendidikan nasional (sisdiknas) yang coba mengatur mekanisme konsep pendidikan keagamaan/moral. Namun, tiba-tiba muncul reaksi kebhinekaan, menentang dan mendukung sistem tersebut. Kemajemukan konsep-konsep moral yang tumbuh di negeri ini masing-masing pihak mengklaim konsepnya yang paling benar, suasana ini mengingatkanIndonesiapada awal-awal peletakan moral dasar (Welstanchung) negara RI, yakni pancasila.
Sesuai dengan teori-teori sosial yang berkembang, proses pendidikan di Indoensia perlu perevisian mendalam. Namun persoalannya tentu tidak semudah itu, yang kemudian muncul adalah rumusan moral (kreativitas moral) apa yang akan mendampingi pendidikan keilmuan (kreatifitas intelektualitas) di Indoensia setelah Pancasila belum mampu kalau tidak dikatakan gagal mewujudkan karakter manusia Indonesiayang bebas dari keterpurukan, mengingat adanya keragaman konsep-konsep moral yang tumbuh dan hidup ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Dan proses pemikiran ke arah ini masih akan terus berlanjut, dan tentunya kita semua mesti turut berpikir.[5]
  1. C.     Solusi Konsep Pendidikan Atas Permasalahan Moralitas
Sebagimana dijelaskan diatas bahwa konsep moral yang tumbuh dan hidup ditengah-tengah masyarakat Indonesia sangat beragam, maka perlu ada solusi setidaknya sebuah gambaran tawaran yang substansi darinya mencakup dari keragaman konsep moral tersebut, atau setidaknya mewakili. Dalam hal ini menarik jika sedikit menelaah konsep pendidikan islam.[6]
Pendidikan Islam adalah sebagai wahana pembentukan manusia yang bermoralitas tinggi. Di dalam ajaran Islam moral atau akhlak tidak dapat dipisahkan dari keimanan. Keimanan merupakan pengakuan hati. Akhlak adalah pantulan iman yang berupa perilaku, ucapan, dan sikap atau dengan kata lain akhlak adalah amal shaleh. Iman adalah maknawi (abstrak), sedangkan akhlak adalah bukti keimanan dalam bentuk perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran dan karena Allah semata.
Berkaitan dengan pernyataan di atas bahwa akhlak tidak akan terpisah dari keimanan, dalam al-Qur’an juga sering dijelaskan bahwa setelah ada pernyataan “orang-orang yang beriman,” maka langsung diikuti oleh “beramal shaleh.” Dengan kata lain amal shaleh sebagai manifestasi dari akhlak merupakan perwujudan dari keimanan seseorang. Pemahaman moralitas dalam bahasa aslinya dikenal dengan dua istilah yaitu al-akhlaq al-karimah dan al-akhlaq al-mahmudah. Keduanya memiliki pemahaman yang sama yaitu akhlak yang terpuji dan mulia, semua perilaku baik, terpuji, dan mulia yang di ridlai Allah.
Dalam pendidikan Islam proses penghayatan dengan sebenarnya terhadap moralitas menjadi tolok ukur keberhasilan. Memahami moralitas belum tentu secara otomatis menghayatinya. Pemahaman terhadap moralitas berarti bahwa segala sesuatu tentang moralitas sudah jelas baik dan pentingnya untuk dimiliki setiap peserta didik. Namun pemahaman tersebut barulah terjadi dalam pikiran, belum tentu meresap ke dalam hati dan perasaan. Berapa banyak hal yang baik diketahui kebaikan dan manfaatnya bagi kehidupan akan tetapi semua orang condong untuk tidak menjadikannya sebagai pegangan atau pedoman dalam hidupnya. Sebaliknya semua orang tahu dan menyadari bahwa sifat buruk itu tidak baik akan tetapi tidak semua orang mau menghindari atau meninggalkannya. Masalahnya terletak pada penghayatan terhadap hal-hal yang baik tersebut.
Menghayati sesuatu berarti menjadikannya bagian dari kepribadiannya, menyatu, dan tidak terpisahkan lagi. Jadi menghayati moralitas berarti semua bentuk moralitas yang telah diketahui itu masuk menjadi bagian dari pribadi dan tidak terpisahkan lagi. Akibat selanjutnya adalah pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap akan dipengaruhi oleh sesuatu yang telah dihayati itu.
Masalah penghayatan bukanlah sederhana terutama bagi orang dewasa di mana pertumbuhan kepribadiannya telah selesai pada usia 20 atau 21 tahun. Penghayatan adalah proses kejiwaan atau proses pendidikan. Dikatakan proses kejiwaan artinya dalam mengubah kepribadian yang telah terbentuk menjadi kepribadian baru. Proses tersebut dalam ilmu jiwa dinamakan proses mengulang kembali pembentukan kepribadian (reconstruction of personality).
Proses kejiwaan yang demikian itu tidak mudah, harus dilakukan dengan usaha dan secara sadar. Di antaranya dengan pemahaman bahwa unsur-unsur baru itu ternyata dan terbukti baik serta diperlukan oleh yang bersangkutan. Perlu pula diketahui bahwa kepribadian yang telah terbentuk itu tercakup di dalamnya semua pengalaman akhir masa remaja kira-kira pada usia 20 tahun. Semua pengalaman tersebut ada yang hilang atau terlupa. Oleh karena itu, unsur-unsur baru yang akan dimasukkan ke dalam pribadi yang telah terbentuk harus cukup banyak agar dapat menetralisir yang sudah ada, sehingga berubah menjadi kepribadian bentuk baru. Pengalaman yang berkaitan dengan unsur baru itu harus banyak pula, agar perubahan tersebut mantap dan dapat mengubah tindakan yang terjadi akibat perubahan pribadi tersebut.
Dalam rangka penghayatan moralitas yang sudah dipahami memerlukan adanya pengalaman-penagalaman lewat penerapan dalam berbagai keadaan dan kesempatan. Pengalaman itu akan membawa kepuasan dan kegembiraan yang berhasil dicapai dalam pergaulan dari reaksi orang yang berhubungan dengannya. Semakin banyak pengalaman yang menyenangkan tersebut dan semakin diterimanya unsur baru (moralitas) tersebut, maka semakin banyak pula dorongan untuk meningkatkan pengalaman yang telah berhasil itu. Di samping itu juga akan muncul dorongan untuk mengamalkan dan menerapkan berbagai macam moralitas lainnya. Akhirnya terjadilah penyatuan (internalisasi) moralitas ke dalam pribadi yang tidak dapat dipisahkan lagi.
Moralitas tersebut perlu penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan moralitas yang tinggi bagi pendidik amat penting sebab penampilan, perkataan, akhlak, dan segala apa yang terdapat padanya dilihat, didengar, dan diketahui oleh peserta didik. Hal ini semua akan mereka serap dan tiru, dan lebih jauh akan mempengaruhi pembentukan dan pembinaan akhlak mereka. Oleh karena itu, seyogyanya setiap pendidik menyadari bahwa peranan dan pengaruhnya terhadap anak didik amat penting. Jika pengaruh yang terjadi adalah yang tidak baik, maka kerusakan yang terjadi tidak hanya pada anak itu saja, melainkan mempengaruhi anak cucu dan keturunannya serta anak didiknya bila kelak ia menjadi pendidik. [7]
Setelah pemahaman dan penghayatan akhlak mulia, maka selanjutnya perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan perubahan kepribadian dan masuknya moralitas ke dalam konstruksi kepribadian tidak akan terjadi secara langsung pada perilaku dan sikap. Apabila seseorang telah memiliki kebiasaan tertentu dalam menghadapi sesuatu, maka perilaku atau tindakan yang telah menjadi kebiasaan itu segera terjadi ketika seseorang menghadapi hal yang sama. Semua proses ini yang paling strategis adalah memalui pendidikan, dalam konteksIndonesiaadalah pendidikan nasional dan pendidikan Islam.
Pada dasarnya kebiasaan itu memudahkan orang hidup. Perkataan, perbuatan, gerakan, tingkah laku yang telah menjadi kebiasaan seringkali terjadi tanpa pikiran, seolah-olah semua itu terjadi secara otomatis. Karena itulah, maka moralitas yang belum menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari perlu diingat dan diusahakan penerapannya setiap saat agar menjadi kebiasaan. Menghentikan kebiasaan lama dan menggantinya dengan kebiasaan baru memerlukan pengorbanan dan usaha karena menumbuhkan kebiasaan baru itu membutuhkan pemikiran, kesadaran, dan kesengajaan. Di lain pihak kebiasaan lama sering terjadi tanpa proses pengolahan dalam pikiran dan mudah menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, kemampuan menerapkan moralitas perlu dibina dan diusahakan dengan sungguh-sungguh.
Demikian pula halnya dengan berbagai kelakuan yang bertentangan dengan moralitas baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun berbangsa. Untuk membantu menghentikannya dalam Islam secara tegas ada hukum dan ketentuan yang melarang perbuatan yang tercela (madzmumah) dengan hukum haram. Orang tidak dengan sendirinya berhenti dari perbuatan salah atau dosa yang telah terbiasa dilakukannya setelah memahami dan menghayati bahwa perbuatan tersebut dilarang Allah dan diancam dengan siksaan bagi yang melakukannya. Dia perlu berusaha menghentikannya dengan perjuangan melawan kebiasaan buruk itu dan memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan tersebut serta berdoa kepada Allah agar diberi-Nya kekuatan untuk melawan dorongan yang buruk tersebut.
Upaya penerapan moralitas dalam kehidupan sehari-hari seharusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan nasional dan pendidikan Islam baik dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam keluarga metode yang dapat digunakan adalah peneladanan, sebab segala aktivitas orang tua akan menjadi panutan bagi putera-puterinya. Ketika di sekolah, guru di samping menyampaikan pelajaran dengan metode ceramah atau tanya jawab, juga perlu memberikan teladan yang baik. Sedangkan di dalam masyarakat pendidikan akhlak ini dapat dilakukan dengan metode nasehat dan peneladanan, terutama dari para tokoh dan pemimpin masyarakat.
Pendidikan moral dan akhlak menduduki posisi yang sangat penting dalam percaturan pendidikan di Indonesia, bahkan bukan hanya dalam aspek pendidikan saja, melainkan juga bidang kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan ideologi. Arti penting dari pendidikan moral atau akhlak dapat dilihat dari hasil pendidikan yang sampai saat ini berlansung. Banyak pemimpin negara yang lupa akan penderitaan rakyat, hanya mementingkan diri dan kelompoknya, menindas kaum melarat dan kalah serta tunduk kepada pemilik modal besar (konglomerat). BangsaIndonesiaakan terus mengalami kemerosotan ekonomi, politik, dan budaya, ketika pendidikan moral dan akhlak sudah dijadikan sebagai landasan awal pendidikan nasional. Namun, semua ini tergantung pada political will para pemimpin negeri ini (Presiden dan DPR atau ekskutif dan legislatif).
Pembangunan moralitas harus terus dilaksanakan dari sejak pendidikan dasar, menengah sampai perguruan tinggi, bahkan sampai ketika seseorang telah menduduki sebuah jabatan strategis. Semua ini sebagai upaya untuk meneropong masa depan moralitas bangsa.[8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari apa yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa Sesuai proses pendidikan di Indoensia perlu perevisian dalam mencari formulasi rumusan moral (kreativitas moral) apa yang akan mendampingi pendidikan keilmuan (kreatifitas intelektualitas) di Indoensia.
Pendidikan moral dan akhlak menduduki posisi yang sangat penting dalam percaturan pendidikan di Indonesia, bahkan bukan hanya dalam aspek pendidikan saja, melainkan juga bidang kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan ideologi. Signifikansi dari pendidikan moral atau akhlak dapat dilihat dari hasil pendidikan yang sampai saat ini berlansung.
Pembangunan moralitas harus terus dilaksanakan dari sejak pendidikan dasar, menengah sampai perguruan tinggi, bahkan sampai ketika seseorang telah menduduki sebuah jabatan strategis. Semua ini sebagai upaya untuk meneropong masa depan moralitas bangsa.
DAFTAR PUSTAKA

Rosyadi, Khoirun. Pendidikan profetik. Puataka pelajar.Yogyakarta: 2004
Kartono, Kartini. Patalogi Sosial 3 Gangguan-Gangguan Kejiwaan. PT Raja Grafindo, Persada.Jakarta:2002
Zainuddin, T, http:/www.goggle.com.19 september 2008,18.30
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani, Gramedia, 2002
Budi Hardiman, F. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2004


[1] Khoirun, rosyadi, pendidikan profetik. Pusataka Pelajar.Yogyakarta:2004. Hal:136
[2] Dr. kartini kartono, patalogi social 3 gangguan-gangguan kajiwaan, PT Raja Garaindo.Jakarta: 2002. Hal. 191
[3] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Gramedia, 2002. Hal:45
[4] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta, 2004, Hal: 34
[5] Zainuddin, T, http:/www.goggle.com.19 september 2008,18.30
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar