Jumat, 20 April 2012

Implikasi Pendidikan Agama Dalam Perkembangan Rasa Agama Pada Usia Anak Dan Remaja

Implikasi Pendidikan Agama Dalam Perkembangan Rasa Agama Pada Usia Anak Dan Remaja

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Psikologi secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion), dan kehendak (conasi). Gejala tersebut secara umum memiliki ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa, normal dan beradab. Dengan demikian ketiga gejala pokok tersebut dapat diamati melalui sikap dan perilaku manusia. Namun terkadang ada diantara pernyataan dalam aktivitas yang tampak itu merupakan gejala campuran, sehinga para ahli psiklogi menambahnya hingga menjadi empat gejala jiwa utama yang dipelajari psikologi, yaitu pikiran, kehendak dan gejala campuran. Adapun yang termasuk gejala campuran ini seperti intelegensi,  kelelahan ataupun sugesti.[1]
Religiositas berkembang sejak usia dini melalui proses perpaduan antara potensi bawaan keagamaan dengan pengaruh yang datang dari luar diri manusia.[2] Dalam proses perkembangan tersebut akan terbentuk macam, sifat, serta kualitas religiositas yang akan terekspresikan pada perilaku kehidupam sehari-hari. Proses perkembangan religiositas melewati tiga fase utama, yakni fase anak, remaja dan dewasa. Masing-masing fase perkembangan memiliki kekhasan dalam sifat serta perannya terhadap keseluruhan perkembangan religiositas.
Dalam makalah ini akan membahas tentang bagaimana religiusitas pada tahap anak-anak hingga remaja.
BAB II
PEMBAHASAN
  1. A.    Pengertian Pendidikan Agama
Dari sudut padang manusia, pendidikan ialah proses sosialisasi, yakni memasyarakatkan nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan. Emile Durhaim dalam karyanya education and sociology (1956) berpendapat bahwa pendidikan merupakan kelanggengan kehidupan manusia itu sendiri, yaitu mampu hidup konsisten mengatasi ancaman dan tantangan masa depan.[3] Banyak para filsafat pendidikan mengartikan “pendidikan” antara lain:
  1. 1.      Driyar Karya
Mengatakan bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda.
  1. 2.      Crow and crow
Menyebut pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dan generasi ke generasi.
  1. 3.      Ki Hajar Dewantara
Dalam kongres Taman Siswa yang pertama pada tahun 1930, menyebutkan pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak; dalam Taman Siswa tidak boleh pisah-pisahkan bagian-bagian itu agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.
  1. 4.      John Dewey
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.
  1. 5.      Herman H. Horne
Pendidikan dipandang sebagai suatu proses penyesuaian diri manusia sebagai timbal balik dengan alam sekitar dengan sesama manusia, dan dengan tabiat dan kosmos.[4]
Ada beberapa pendapat mengenai makna “Agama” antara lain:
  1. 1.      Prof KHM. Taib Thahir Abdul Mu’in,
Agama adalah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal, memegang peratutan Tuhan dengan kehendak sendiri, untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan diakhirat.[5]
  1. 2.      Emile Durkheim
Mengartikan agama sebagai suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan perasaan-perasaan pribadi; suatu peniruan terhadap modus-modus, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktik-praktik yang secara sosial telah mantap selama ke generasi-generasi.[6]
  1. 3.      J.G. Frazer
Berpendapat bahwa agama adalah suatau ketundukan atau penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercayai mengatur dan mengendalikan alam dan kehidupan umat manusia. Menurut dia agama itu terdiri dua element yakni, bersifat teorstis dan yang praktis. Contoh yang bersifat teoristis berupa kepercayaan kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia sedangkan yang bersifat praktis ialah usaha manusia untuk tunduk kepada kekuatan-kekuatan tersebut serta usaha mengembirakannya.[7]
  1. B.     Perkembangan Rasa Agama Usia Anak
Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development Of Religion On Children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak  itu melalui tiga tingktan, yaitu;
  1. 1.      The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng)
Tingkatan ini dimuali pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkatan anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa kini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dapat menggapai agama pun anak masih mengggunakan konsep fantastik yang diliputi oleh dongeng-dongeng.
  1. 2.      The Realistic Stage (tingkat kenyataan)
Tingkat ini sejak anak masuk Sekolah Dasar (SD) hingga ke usia adolensen. Pada masa ini, ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak dapat didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam ligkungan mereka. Segala bentuk tindakan (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat.
  1. 3.      The Individual Stage (tingkat individu)
Pada tingkat ini anak mempunyai kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka, konsep keagamaan yang individualis ini terbagi menjadi tiga golongan, yaitu;
Ä  Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal terserbut disebabkan oleh pengaruh luar.
Ä  Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (peroranngan).
Ä  Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor interen, yaitu perkembangan usia dan faktor eksteren berupa pengaruh luar yang dialaminya.[8]
Religiositas anak adalah hasil dari suatu proses perkembangan yang berkesinambungan dari lahir sampai menjelang remaja. Dalam proses tersebut berbagai faktor, interen, eksteren ikut berperan. Empat diantarannya yang akan dipaparkan dalam makalah ini, yaitu perkembangan kognisi, peran hubungan orang tua dengan anak, peran Conscience, Guilt, Shame, serta Interaksi sosial.
Ä  Peran kognisi dalam perkembangan religiositas anak
      Konsep tentang nila-nilai keagamaan yang digunakan sebagai dasar pembentukan religiositas masuk ke dalam diri anak melalui kemampuan kognisi. Kognisi difahami sebagai kemampuan mengamati dan menyerap pengetahuan dan pengalaman dari luar diri individu. Perkembangan kognisi melewati beberapa fase yang masing-masing memiliki ciri yang berbeda. Pengetahuan dan pengalaman yang masuk pada diri individu akan hanya terserap sesuai dengan tingkat kemampuan kognisinya. Demikian juga pengetahuan dan pengalaman keagamanannya.
      Pada usia anak menurut Piaget perkembangan kognisi mengalami empat dari lima fase perkembangan berikiut ini yaitu:
  1. Period of sensorimotor adaptation, birth- 2 tahun
  2. Development of simbiolic and preconceptual thought, 2-4 tahun
  3. Period of intuitive thougth, 4-7 tahun
  4.  Period of concreate operations, 7-12 tahun
  5. Period of formal operation, 12- thought adulescence.[9]
Ä  Peran hubungan orang tua dengan anak dalam perkembangan religiositas anak
      Hubungan orang tua dengan anak memiliki peran yang sangat besar dalam proses peralihan nilai agama yang akan menjadi dasar-dasar nilai dari religiositas anak.[10] Melalui hubungan dengan orang tua anak menyerap konsep-konsep keimanan (belief & faith), ibadah (ritual), maupun mu’amalah (ethic & moral). Ada dua masalah penting yang ikut berperan dalam perkembangan religiositas anak melalui proses hubungan orang tua dan anak, yaitu cara orang tua dalam berhubungan dengan anaknya, serta kualitas dari religiositas orang tua.
Ä  Paran Conscience, Guilt dan Shame dalam perkembangan religiositas anak
      Conscience, Guilt dan Shame adalah tiga keadaan kejiwaan yang berkembang secara berurutan. Conscience adalah kemampuan yang muncul dari jiwa yang terdalam untuk mengerti tentang be nar dan salah, baik dan buruk. Dalam istilah lain dapat disamakan dengan istilah inner light, superhero, atau internalized policeman, yang berperan untuk mengontrol perilaku dari dalam diri. Guilt adalah perasaan bersalah yang muncul bila dirinya tidak berperilaku sesuai dengan kata hatinya, rasa bersalah juga dapat disebut evaluasi diri secara negative yang muncul ketika seseorang memahami bahwa perilakunya tidak sesuai dengan standard nilai yang dia rasa harus ditaati. Beriringan dengan itu kemudian muncul  Shame, yaitu reaksi emosi yang tidak menyenangkan terhadap perkiraan penilaian dari orang lain pada dirinya.
Ä  Peran interaksi sosial dalam perkembangan religiositas anak
      Interaksi sosial adalah kesempatan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan di luar rumah, yaitu dengan kelompok kawan sepermainan dan kawan sekolah. Interaksi sosial mempunyai peran penting dalam perkembangan religiositas anak melalui dua hal sebagai berikut: pertama, malalui interaksi sosial anak akan mengetahuai apakah perilakunya yang telah terbentuk berdasarkan standar nilai religiositas dalam keluarga dapat diterima atau ditolak oleh lingkungannya. Kedua, interaksi sosial akan menimbulkan motivasi bagi anak untuk hanya berperilaku sesuai dengan yang dapat diterima oleh lingkungannya.[11]
  1. C.    Perkembangan Rasa Agama Usia Remaja
Dalam  pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki masa Progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja mencakup masa juvenitilas (adolescantium), pubertas, dan  nubilitas.[12]
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan pada masa remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembnagan itu antara lain menurut W. Starbuck adalah:
a)Pertumbuhan pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanak sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.
b)      Perkembangan perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati berkehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasan super, remaja lebih terperosok ke arah tindakan seksual yang negative.
c)Pertimbangan sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mareka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
d)     Perkembangan moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteks. Tipe moral yang juga terlihat pada remaja juga mencakupi:
  1. Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
  2. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
  3. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
    1. Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.
    2. Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan masyarakat.
e)Sikap dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaaan masa kecil dan lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).
Howard Bell dan Ross, berdasarkan penelitiannya taerhadap 13.000 remaja di Marlyand mengungkapkan sebagai berikut:
  1. Remaja yang taat beribadah ke gereja secara terartur 45%
  2. Remaja yang tidak pernah kegereja 35%
  3. Minat terhadap: ekonomi, keuangan, materi dan sukses pribadi 73%
  4. Minat terhadap masalah ideal, keagamaan dan sosial 21%.
f)    Ibadah
1.) Pandangan remaja terhadap ajaran agama, ibadah, dan masalah doa yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukkan:
a.) 148 siswi dinyatakan bahwa 20 orang di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman keagamaan, sedangkan sisanya 128 mempunyai pengalaman keagamaan, yang 60 diantaranya secara alami (tidak melalui ajaran resmi).
b.) 31% di antara yang punya pengalaman keagamaan melalui proses alami, mengungkapkan adanya perhatian mereka terhadap keajaiban yang menakjubkan di balik keindahan alam yang mereka nikmati.
2.) Selanjutnya mengenai pandangan mereka tentang ibadah di ungkapkan sebagai berikut:
a.) 42% tak pernah mengerjakan ibadah sama sekali.
b.) 33% mengatakan mereka sembahyang karena mereka yakin Tuhan mendengar dan akan mengabulkan doa mereka.
c.) 27% beranggapan bahwa sembahyang dapat menolong mereka meredakan kesusahan yang mereka derita.
d.) 18% mengatakan bahwa sembahyang menyebabkan mereka menjadi senang sesudah menunaikannya.
e.) 11% mengatakan bahwa sembahyang mengingatkan tanggung jawab dan tuntutan sebagai anggota masyarakat.
f.) 4% mengatakan bahwa sembahyang merupakan kebiasaan yang mengandung arti yang penting.
Jadi, hanya 17% mengatakan bahwa sembahayang berrmanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% di antaranya menganggap bahwa sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi.[13]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Religiositas pada tahap anak dan remaja sangat berbeda, proses perkembnagan religiositas pada tahap anak meliputi beberapa faktor yaitu The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng), The Realistikc Stage (tingkat kenyataan) dan The Individual Stage (tngkat individu). Sedangkan pada tahap remaja juga diliputi beberapa faktor, yang mana faktor ditahap anak berbeda pada tahap remaja, faktor-faktor yang meliputi perkembangan religiositas pada tahap remaja yaitu; Pertumbuhan pikiran dan mental, Perkembangan perasaan Pertimbangan sosial, Perkembangan moral, Sikap dan minat serta Ibadah.
Dalam keseluruhan perkembangan religiositas, perkembangan pada usia anak mempunyai peran yang sangat penting karena dalam perkembangan tersebut keseluruhan dasar-dasar religiositas mulai terbentuk. Akan tetapi perhatian dan kesangguan pihak orang dewasa dalam memahami dan memecahkan permasalahan yang timbul berkaitan dengan perkembangan religiositas usia anak dirasa kurang dibandingkan dengan perhatian dan kesanggupannya terhadap perkembangan religiositas usia remaja dan dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
 Abdul Manaf, Mudjahit, Sejarah Agama-Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet 2, 1996.
Arifin, M. Menguat Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: PT Golden Terayon Press, Cet 7, 1997.
Clark, W.H, The Psychology Of  Religion. New York : The MacMillan Company, 1958.
Eson, W.H, The Psychology Of  Religion, New York: Rinehart and Winston, Inc, 1972.
Hurlock, E.B, Child Development, New York: McGraw-Hiil Book Company, Inc, 1978. S
Jalaluddin, Psikologi Agama,  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Yusuf  LN, Syamsu, Psikologi Belajar Agama (Perspektif Pendidikan Agama Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004

[1] Jalaluddin, Psikologi Agama,  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), Hal. 8
[2] Clark, W.H, The Psychology Of  Religion. (New York : The MacMillan Company, 1958), Hal. 85
                [3] Khoirun, Rosyadi, Pendidikan Profetik, Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 2004. Hal. 137
[4] Khoirun, Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pusataka Pelajar, 2004), Hal:136
[5] Mudjahit Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet II, 1996), Hal. 4
[6] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama (Perspektif Agama Islam), (Bandung: Pustaka Bani Quraisy), Cet 1, 2003. Hal.10
[7]M. Arifin, Menguat Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT Golden Terayon Press, 1997),Cet VII. Hal.5
[8]  Jalaluddin, Psikologi Agama…Hal 67
[9] Eson, W.H, The Psychology Of  Religion, (New York: Rinehart and Winston, Inc, 1972),Hal 99
[10] Clark, W.H, The Psychology Of  Religion…Hal 87
[11] Hurlock, E.B, Child Development, (New York: McGraw-Hiil Book Company, Inc, 1978), Hal 390
[12] Jalaluddin, Psikologi Agama… Hal. 74
[13] Jalaluddin, Psikologi Agama… Hal. 77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar