KEPADA PARA PEMBACA
Alasan mengapa diluangkan sebuah bab khusus [Apendiks] mengenai
runtuhnya teori evolusi adalah karena teori ini merupakan dasar dari semua
filsafat anti agama. Oleh karena Darwinisme menolak fakta penciptaan, dan
demikian pula atas eksistensi Tuhan, selama 140 tahun terakhir teori ini telah
menyebabkan banyak orang mengabaikan agama mereka atau mengalami keragu-raguan.
Dengan demikian, memperlihatkan bahwa teori ini sebuah tipuan adalah sebuah
tugas sangat penting, yang sangat berkaitan dengan agama (din). Merupakan
sebuah kewajiban agar tugas penting ini dijalankan kepada setiap orang. Sebagian
dari para pembaca kami mung-kin hanya berkesempatan membaca salah satu saja dari
bukubuku kami. Oleh sebab itulah, kami menganggap layak untuk memuat satu bab
sebagai sebuah ringkasan dari pokok pembahasan ini.
Di dalam semua buku dari penulis, pokok-pokok persoalan yang
berkaitan dengan keimanan disampaikan dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan
orang-orang diajak untuk mempelajari ayat-ayat Allah dan mengamalkannya dalam
kehidupan. Semua pokok pembahasan yang berkenaan dengan ayat-ayat Allah
diterangkan dengan sedemikian rupa sehingga tidak ada celah keraguan atau tanda
tanya di dalam benak para pembaca. Penggunaan cara bertutur yang tulus, apa
adanya, dan fasih memastikan bahwa setiap orang dari berbagai usia dan kelompok
sosial dapat dengan mudah memahami buku-buku ini. Cara penuturan yang efektif
dan gamblang memungkinkan untuk membaca buku ini sekali duduk. Bahkan
orang-orang yang menolak spiritualitas pun terpengaruh oleh berbagai fakta yang
dituturkan di dalam buku-buku ini dan tidak dapat menolak kebenaran yang terkandung di dalamnya.
Buku ini dan semua karya penulis yang
lain dapat dibaca secara individu atau dikaji secara berkelompok dalam suatu
perbincangan. Pembacaan buku-buku ini oleh sekelompok pembaca dengan maksud
untuk memetik manfaat darinya akan berguna bila dengan pengertian bahwa para
pembaca tadi dapat saling mengaitkan perenungan dan pengalaman mereka sendiri
satu sama lain.
Di samping itu, akan menjadi suatu
amal saleh yang sangat besar untuk ikut serta memberikan sumbangan dalam
mempresentasikan dan membaca buku-buku ini, yang ditulis semata-mata demi
mendapatkan keridhaan Allah. Semua buku dari penulis sangat meyakinkan. Karena
alasan inilah, bagi mereka yang ingin menyampaikan din kepada orang lain, salah
satu metode yang paling efektif adalah dengan mendorong mereka untuk membaca
buku-buku ini. Diharapkan pembaca akan meluangkan waktunya guna membaca tinjauan
(review) dari buku-buku lainnya yang terdapat pada halaman-halaman terakhir buku
ini, dan memperoleh kepahaman akan kayanya sumber-sumber yang berkenaan dengan
isu-isu keagamaan, yang mana begitu berguna dan menyenangkan untuk dibaca.
Di dalam buku-buku tersebut,
seseorang tidak akan menemukan, sebagaimana pada sebagian buku-buku lainnya,
pandangan-pandangan pribadi penulis, penjelasan-penjelasan yang berlandaskan
sumber-sumber yang meragukan, gaya-gaya yang ceroboh dalam menyikapi pokok-pokok
pembahasan yang suci, atau keputusasaan, keragu-raguan, dan
keterang-an-keterangan yang bersifat pesimistis sehingga menimbulkan
penyimpangan-penyimpangan di dalam hati.
|
APENDIKS: Kesalahan Konsep Darwinisme
|
|
Setiap detil di
alam semesta ini menunjuk kepada penciptaan yang superior. Sebaliknya,
materialisme, yang berupaya untuk menolak fakta tentang konsep penciptaan dalam
alam semesta, tidak lain adalah suatu kepalsuan ilmiah.
Sekali
materialisme dinyatakan tidak absah, seluruh teoriteori lain yang berasaskan
dari filsafat ini dipandang tak memiliki landasan. Berada pada urutan utama di
antara teoriteori ini adalah Darwinisme, yakni teori tentang evolusi. Teori ini,
yang mempertahankan bahwa kehidupan berasal dari materi yang tak bernyawa
melalui kebetulan, telah digugurkan oleh pengakuan bahwa alam semesta telah
diciptakan Allah. Pakar astrofisika Amerika Serikat, bernama Hugh Ross,
menerangkan tentang hal ini sebagai berikut.
Ateisme, Darwinisme, dan hampir seluruh “isme’ lahir dari
filsafat-filsafat yang berkembang di abad ke-18 sampai abad ke-20 dibangun atas
dasar asumsi — anggapan yang salah — bahwa alam semesta ini adalah azali.
Anggapan tentang keazalian alam ini telah membawa kita untuk berhadap-hadapan
dengan persoalan tentang kausa atau — penyebab — yang mengatasi/ berada di
balik/yang ada sebelum alam semesta dan seluruh seisinya, termasuk persoalan
tentang kehidupan itu sendiri.1
Allah-lah yang
telah menciptakan alam semesta ini dan yang telah merancangnya hingga mendetail
sampai sekecilkecilnya. Dengan demikian, mustahil teori evolusi — yang berpegang
pada pendapat bahwa makhluk hidup tidak diciptakan oleh Allah, melainkan adalah
produk dari berbagai peristiwa yang kebetulan — ini benar.
Tidaklah
mengejutkan, tatkala kita tilik teori evolusi ini, akan kita saksikan bahwa
teori ini dikritisi dengan adanya berbagai temuan ilmiah. Desain dalam kehidupan
amat sangat kompleks dan mempesona. Di dunia tak hidup (inanimate world),
misalnya, kita dapat menjelajahi betapa pekanya keseimbangan atom-atom, dan
lebih jauh lagi, di dunia hidup (animate world), kita dapat mengamati betapa
kompleksnya atom-atom ini terkumpul menjadi satu dalam sebuah desain, dan betapa
luar biasanya berbagai mekanisme dan struktur seperti protein, enzim, dan sel,
yang diproduksi.
Desain yang luar
biasa dalam kehidupan ini membuat Darwinisme tidak valid lagi pada akhir abad
ke-20.
Kami telah
membahas permasalahan ini dengan amat rinci pada sebagian dari kajian-kajian
kami yang lain, dan akan terus dilakukan. Meskipun demikian kami berpikir bahwa
dengan mempertimbangkan nilainya yang penting, akan sangat membantu untuk
menyajikan suatu ringkasan yang singkat di sini.
Meskipun merupakan
sebuah doktrin yang berasal jauh ke belakang pada masa Yunani kuno, teori
evolusi dikemukakan secara meluas pada abad ke-19. Perkembangan terpenting yang
membuat teori ini menjadi topik utama dunia ilmu pengetahuan adalah buku Charles
Darwin yang berjudul The Origin of Species yang diterbitkan pada tahun 1859.
Dalam buku ini, Darwin menyangkal bahwa berbagai spesies makhluk hidup di bumi
ini diciptakan secara sendiri-sendiri oleh Allah. Menurut Darwin, semua makhluk
hidup memiliki satu leluhur yang sama dan mereka berkembang menjadi beraneka
ragam seiring berjalannya waktu melalui perubahanperubahan kecil.
Teori Darwin tidak
didasarkan pada penemuan ilmiah apa pun yang pasti; sebagaimana diakuinya
sendiri, teori ini sekadar “asumsi”. Lagi pula, sebagaimana diakui oleh Darwin
dalam sebuah bab yang panjang dalam bukunya itu, yang berjudul Difficulties of
the Theory (Kesulitan-kesulitan Teori Ini), teori ini selalu gagal dalam
menghadapi sekian banyak pertanyaan yang kritis.
Darwin menanamkan semua
harapannya pada penemuanpenemuan ilmiah baru, yang diperkirakannya akan
memecahkan “Kesulitan-kesulitan Teori Ini”. Akan tetapi, berlawanan dengan
perkiraannya, penemuan-penemuan ilmiah justru memperlebar dimensi
kesulitan-kesulitan ini.
Kekalahan Darwinisme atas sains dapat ditinjau
dari tiga topik dasar:
-
1) Teori ini sama
sekali tidak menerangkan bagaimana asal-usul kehidupan di bumi.
-
2) Tak ada penemuan
ilmiah yang menunjukkan bahwa “mekanisme-mekanisme evolusi” yang dikemukakan
oleh teori ini memiliki suatu kekuatan untuk berkembang sama sekali.
-
3) Catatan fosil
sepenuhnya membuktikan hal-hal yang berlawanan dengan pernyataan-pernyataan
teori evolusi.
Dalam bagian ini, kita
akan menguji ketiga hal mendasar tadi secara garis besar:
Teori evolusi
beranggapan bahwa semua spesies makhluk hidup berkembang dari satu sel hidup
tunggal yang muncul di bumi primitif 3,8 milyar tahun yang lalu. Bagaimana
sebuah sel tunggal dapat menghasilkan jutaan spesies hidup yang kompleks dan,
andaikata evolusi seperti itu memang benar terjadi, mengapa bekas-bekasnya tak
dapat diamati pada catatan fosil adalah beberapa pertanyaan yang tak dapat
dijawab oleh teori tersebut. Bagaimanapun, pertama-tama dan utama, dari langkah
awal proses evolusi yang dinyatakan dengan tanpa bukti itu yang harus diselidiki
adalah: Bagaimana asal-usul “sel pertama” ini?
Oleh karena teori
evolusi ini mengingkari penciptaan dan tidak menerima campur tangan supernatural
dalam bentuk apa pun, teori ini mempertahankan bahwa “sel pertama” berasal
secara kebetulan di dalam hukum alam, tanpa rancangan, perencanaan, atau
penataan apa pun. Menurut teori ini, materi tak hidup telah memproduksi sebuah
sel hidup sebagai hasil dari berbagai peristiwa kebetulan. Bagaimanapun, ini
adalah sebuah klaim yang tidak konsisten bahkan dengan hukumhukum biologi yang
tak terbantahkan.
- “KEHIDUPAN BERASAL DARI KEHIDUPAN”
Di dalam bukunya,
Darwin tak pernah merujuk ke asalusul kehidupan. Pemahaman primitif sains pada
masa hidupnya bertumpu pada asumsi bahwa makhluk hidup memiliki struktur yang
sangat sederhana. Semenjak Zaman Pertengahan, generasi spontan (generatio
spontanea), teori yang menyatakan bahwa material-material tak hidup berkumpul
menjadi satu untuk membentuk organisme-organisme hidup, telah diterima secara
luas. Sudah menjadi kepercayaan umum pada saat itu bahwa serangga berasal dari
sisa-sisa makanan, dan tikus berasal dari gandum. Percobaan-percobaan yang
menarik telah dilakukan guna membuktikan teori ini. Beberapa butir gandum
diletakkan di atas sehelai kain kotor, dan diyakini bahwa tikus-tikus akan
muncul dari sana setelah beberapa saat.
Serupa itu, ulat-ulat
yang muncul dan tumbuh dari daging diasumsikan sebagai bukti generasi spontan.
Akan tetapi, hanya beberapa saat kemudian dipahami bahwa ulat-ulat tidak muncul
pada daging secara spontan, namun dibawa ke sana oleh lalat dalam bentuk larva
yang tak terlihat oleh mata telanjang.
Bahkan pada periode di
mana Darwin menulis The Origin of Species, kepercayaan bahwa bakteri dapat
muncul dari materi tidak hidup telah diterima secara luas di dunia sains.
Akan
tetapi, lima tahun setelah buku Darwin terbit, penemuan Louis Pasteur
mengumumkan hasil-hasil temuannya setelah penelaahan dan percobaan yang lama,
yang menggugurkan teori generasi spontan, yang merupakan batu pijakan teori
evolusi Darwin. Dalam kuliah yang dia berikan dengan gemilang di Universitas
Sorbonne pada 1864, Pasteur berkata, “Tidak akan pernah lagi doktrin genarasi
spontan ini dapat pulih setelah serangan mematikan yang dilancarkan oleh
eksperimen sederhana ini.”2
Para pendukung teori
evolusi pun menolak hasil penemuan Pasteur dalam waktu yang lama. Akan tetapi,
seiring dengan perkembangan sains yang menguak misteri struktur sel makhluk
hidup yang kompleks, pemikiran bahwa kehidupan dapat terjadi secara kebetulan
bahkan menghadapi kebuntuan yang lebih besar lagi.
-
USAHA-USAHA YANG TIDAK MEYAKINKAN
PADA ABAD KE-20
Evolusionis pertama yang
terlibat dalam pokok pembahasan asal-usul kehidupan pada abad ke-20 adalah ahli
biologi terkenal Rusia, Alexander Oparin. Dengan berbagai tesis yang
dikemukakannya pada tahun 1930an, dia berusaha membuktikan bahwa sel suatu
makhluk hidup dapat dihasilkan secara kebetulan. Akan tetapi, kajian-kajian ini
mengalami kegagalan, dan Oparin harus membuat pengakuan berikut: “Sayangnya,
asal-usul sel ini tetap menjadi sebuah persoalan yang hingga kini menjadi titik
tergelap dari keseluruhan kajian evolusi makhluk organisme.” 3
Para evolusionis pengikut Oparin pun berusaha
melakukan berbagai percobaan untuk memecahkan masalah asal-usul kehidupan. Yang
paling terkenal dari percobaan ini adalah yang dilakukan oleh ahli kimia Amerika
Serikat, Stanley Miller pada tahun 1953. Dengan menggabungkan gas-gas yang
dinyatakannya dengan tanpa bukti telah ada pada atmosfir bumi pada tahap paling
awal dalam sebuah percobaan yang telah dipersiapkan, dan dengan menambahkan
energi dalam campurannya, Miller telah mensintesiskan sekian banyak molekul
organis (asam-asam amino) yang terdapat pada struktur protein.
Kemudian tak sampai sekian tahun
lamanya, akhirnya terkuak bahwa percobaan ini, yang kemudian dipersembahkan
sebagai sebuah langkah penting atas nama evolusi, ternyata tidak valid, atmosfir
yang dipakai dalam percobaan tadi sangat berbeda dengan kondisi bumi yang
sesungguhnya. 4
Setelah sekian lama membisu,
Miller pun mengakui bahwa media atmosfir yang dipakainya dulu tidak
realistis. 5
Segala upaya yang dikerahkan oleh kaum
evolusionis di sepanjang abad ke-20 untuk menerangkan asal-usul kehidupan
berakhir dengan kegagalan. Ahli geokimia Jeffrey Bada dari San Diego Scripps
Institute mengakui fakta ini dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam Majalah
Earth pada tahun 1998:
Saat ini, sementara kita
meninggalkan abad ke-20, kita masih menghadapi masalah terbesar yang tak
terpecahkan sejak kita memasuki abad ke-20: Bagaimanakah dulunya kehidupan
bermula di bumi ini? 6
- STRUKTUR KEHIDUPAN YANG KOMPLEKS
Alasan utama mengapa teori evolusi berakhir
dengan kebuntuan besar yang sedemikian itu mengenai asal-usul kehidupan adalah
bahwa bahkan organisme-organisme hidup yang dipandang paling sederhana pun
memiliki struktur yang luar biasa kompleksnya. Sel suatu makhluk hidup lebih
kompleks daripada semua produk teknologi yang diproduksi oleh manusia. Hari ini,
bahkan di berbagai laboratorium yang paling maju di dunia ini, sebuah sel hidup
tak dapat diproduksi dengan menggunakan material-material non-organik yang
digabungkan secara bersama-sama.
Kondisi-kondisi yang disyaratkan bagi
terbentuknya sebuah sel jauh lebih pelik untuk dijelaskan dengan peristiwa
kebetulan. Kemungkinan protein, belahan-belahan pembangun sel, untuk tersintesis
secara kebetulan adalah 1 banding 950 untuk rata-rata
protein yang tersusun dari 500 asam amino. Dalam matematika, sebuah probabilitas
yang lebih kecil daripada 1 dibagi 1050 praktis dipandang
sebagai kemustahilan.
Molekul DNA, yang terletak di dalam inti sel
dan menyimpan informasi genetika, adalah sebuah bank data yang luar biasa.
Dikalkulasikan bahwa andaikata informasi yang diberi kode DNA dituliskan, maka
akan tersusun dalam sebuah perpustakaan raksasa yang terdiri dari 900 volume
ensiklopedia yang masing-masingnya berisi 500 halaman.
Sebuah dilema yang sangat menarik muncul dalam
hal ini: DNA tersebut hanya dapat direplikasikan dengan bantuan beberapa protein
khusus (enzim). Akan tetapi, sintesis dari enzim-enzim ini hanya dapat
direalisasikan oleh informasi yang ada dalam kode DNA. Karena keduanya saling
tergantung satu sama lain, maka keduanya pun harus ada dalam waktu yang sama
untuk replikasi ini. Hal ini mengantarkan skenario bahwa kehidupan muncul dengan
sendirinya ke jalan buntu. Prof. Leslie Orgel, seorang evolusionis tersohor dari
University of San Diego, California, mengakui fakta ini dalam majalah
Scientific American yang terbit pada bulan September 1994:
Sangatlah tidak mungkin berbagai
protein dan asam nukleat, yang keduanya memiliki struktur yang kompleks, muncul
secara spontan di tempat yang sama pada waktu yang sama pula. Namun tampaknya
mustahil pula bila salah satunya terbentuk tanpa yang lainnya. Dengan demikian,
sedari awal, seseorang terpaksa harus menyimpulkan bahwa kehidupan ini tak
mungkin berasal dari hasil reaksireaksi kimia.7
Tak diragukan, bila memang mustahil kehidupan
ini berasal dari sebab-sebab yang natural, maka haruslah diakui bahwa kehidupan
ini “tercipta” secara supernatural. Fakta ini secara tersurat membuat teori
evolusi, yang tujuan utamanya adalah mengingkari penciptaan, menjadi tidak
valid.
- MEKANISME KHAYALAN EVOLUSI
Hal penting kedua yang menafikan teori Darwin
adalah bahwa kedua konsep yang dikemukakan oleh teori tersebut sebagai
“mekanisme-mekanisme evolusioner”, dalam kenyataannya, telah dipahami sebagai
tidak memiliki kekuatan evolusioner.
Darwin mendasarkan dugaan evolusinya tadi
secara keseluruhan pada mekanisme “seleksi alam (natural selection)”.
Pentingnya kedudukan mekanisme ini baginya tampak nyata dalam judul bukunya:
The Origin of Species, By Means Of Natural Selection ...
Seleksi alam menyatakan bahwa makhluk-makhluk
hidup yang lebih kuat dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi
alam tempatnya berada akan dapat bertahan hidup. Misalnya, dalam sekawanan rusa
yang berada di bawah ancaman serangan dari berbagai binatang buas, maka yang
larinya lebih kencang akan tetap bertahan hidup. Dengan demikian, kawanan rusa
tersebut akan terdiri dari individuindividu yang lebih cepat dan lebih kuat.
Akan tetapi, tidaklah mengherankan, mekanisme ini tidak akan menyebabkan rusa
untuk berkembang dan mengubah bentuknya menjadi spesies makhluk hidup lainnya,
menjadi kuda, misalnya.
Dengan demikian, mekanisme seleksi alam tidak
memiliki kekuatan evolusioner. Darwin pun menyadari fakta ini dan harus
menyatakannya di dalam bukunya The Origin of
Species:
Seleksi alam tidak berperan apa
pun hingga pada perbedaan-perbedaan atau variasi dalam individu itu memiliki
peluangnya.8
Maka, bagaimanakah
“variasi-variasi yang memiliki peluang” ini bisa terjadi? Darwin berusaha
menjawab pertanyaan ini dari
sudut pandang pemahaman sains primitif pada masa hidupnya. Menurut ahli biologi
Prancis, bernama Lamarck, yang hidup sebelum Darwin, makhluk-makhluk hidup
menurunkan ciri-ciri pembawaan yang mereka peroleh pada masa hidupnya kepada
generasi berikutnya, dan ciri-ciri pembawaan ini, berakumulasi dari satu
generasi ke generasi berikutnya, menyebabkan terbentuknya spesies baru.
Misalnya, menurut Lamarck, jerapah berkembang dari antelop (semacam kijang
bertanduk, pent.); sewaktu hewan-hewan ini berusaha untuk memakan
dedaunan yang terletak di pohonpohon yang tinggi, leher hewan-hewan ini pun lalu
memanjang dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Darwin juga memberikan
contoh-contoh yang serupa dengan itu, dan di dalam bukunya The Origin of
Species, misalnya, disebutkan bahwa beberapa beruang yang masuk ke dalam
air untuk mencari makan telah berubah bentuknya menjadi ikan paus seiring
berjalannya waktu.9
Akan tetapi, hukum sifat pewarisan genetika
(laws of inheritance) yang ditemukan oleh Mendel dan telah diperiksa
ulang kebenarannya oleh ilmu genetika yang mengalami kemajuan pesat pada abad
ke-20, menghapuskan seluruhnya legenda tentang ciri-ciri pembawaan yang
diperoleh dilanjutkan kepada generasi-generasi berikutnya. Dan dengan demikian,
seleksi alam tidak ada landasan sebagaimana mekanisme evolusi.
- NEO-DARWINISME DAN MUTASI
Dalam rangka memperoleh suatu solusi, para
penganut Darwinisme mengajukan “Teori Sintetis Modern”, atau lebih umum dikenal
sebagai Neo-Darwinisme, pada akhir tahun 1930an. Neo-Darwinisme menambahkan
mutasi, yang merupakan distorsi yang terbentuk di dalam gen-gen dari makhluk
hidup yang diakibatkan oleh berbagai faktor eksternal seperti radiasi atau
kesalahan-kesalahan replikasi, sebagai “penyebab variasi-variasi yang memiliki
peluang” di samping mutasi alami.
Saat ini, model yang dipakai bagi evolusi di
dunia adalah Neo-Darwinisme. Teori ini mempertahankan bahwa jutaan makhluk hidup
yang hadir di bumi ini terbentuk sebagai hasil dari sebuah proses yang dengannya
sekian banyak organ kompleks organisme-organisme ini seperti telinga, mata,
paru-paru, dan sayap, mengalami “mutasi”, yaitu, kelainan genetika. Namun,
terdapat sebuah fakta ilmiah telak yang meruntuhkan teori ini secara total:
Mutasi tidak menyebabkan makhluk-makhluk hidup mengalami perkembangan evolusif;
sebaliknya, hal ini justru mendatangkan bahaya bagi makhluk hidup.
Alasannya sangat sederhana: DNA memiliki
sebuah struktur yang sangat kompleks dan efek-efek yang terjadi secara acak
hanya dapat mendatangkan kerusakan baginya. Ahli genetika Amerika B.G.
Ranganathan menjelaskan hal ini sebagai berikut:
Pertama-tama, secara alamiah
proses mutasi yang asli adalah sangat jarang terjadi. Kedua, kebanyakan dari
proses-proses mutasi adalah membahayakan karena terjadi secara tidak teratur,
ketimbang sebagai proses perubahanperubahan yang teratur dalam struktur gen;
perubahanperubahan apa pun yang tidak beraturan pada suatu sistem yang amat
teratur akan berdampak lebih buruk, bukan menuju yang lebih baik. Contoh,
tatkala bencana gempa bumi telah membuat guncangan pada suatu struktur yang
tersusun amat teratur seperti suatu gedung, akan terjadi perubahan yang
serampangan pada rangkaian struktur gedung, yang dalam segala kemungkinannya,
perubahan itu tentu saja bukan suatu proses peningkatan dari kondisi
sebelumnya.10
Tidaklah mengejutkan, tak ada contoh mutasi
yang memiliki dampak positif, yaitu yang telah diteliti yang mengembangkan kode
genetika, yang selama ini diamati sejauh ini. Semua mutasi telah terbukti
membawa dampak negatif. Telah dipahami bahwa mutasi, yang dihadirkan sebagai
sebuah “mekanisme evolusi”, sesungguhnya adalah suatu kejadian genetika yang
membawa dampak yang berbahaya bagi makh-luk-makhluk hidup, dan meninggalkan
kecacatan. (Efek mutasi paling umum pada manusia adalah kanker). Tak diragukan,
sebuah mekanisme yang destruktif tak dapat disebut sebuah “mekanisme evolusi”.
Seleksi alam, pada sisi lain, “tak dapat berbuat apa-apa dengan sendirinya”
sebagaimana diakui pula oleh Darwin. Fakta ini memperlihatkan kepada kita bahwa
tak ada “mekanisme evolusi” di alam. Oleh karena tak ada mekanisme evolusi, maka
tak ada pula proses khayalan yang disebut evolusi yang telah terjadi.
- CATATAN FOSIL: TAK ADA TANDA BENTUK-BENTUK
PERALIHAN (INTERMEDIATE FORMS)
Bukti paling jelas bahwa skenario yang
dinyatakan oleh teori evolusi tidak terjadi adalah catatan fosil.
Menurut teori evolusi, setiap spesies hidup
dulunya berasal dari satu moyang. Suatu spesies yang lebih dulu ada telah
berubah menjadi sesuatu yang lain dalam perjalanan waktu dan semua spesies
muncul menjadi ada dengan cara ini. Menurut teori ini, transformasi tersebut
berlangsung secara berangsur-angsur selama jutaan tahun.
Andaikata dulu memang demikian kasusnya, maka
spesies peralihan yang tak terhitung jumlahnya seharusnya pernah ada dan hidup
di dalam periode transformasi yang panjang ini.
Misalnya, beberapa makhluk setengah
ikan-setengah reptil semestinya pernah hidup pada masa lalu yang telah
memperoleh sebagian ciri bawaan reptil di samping ciri bawaan ikan yang telah
dimilikinya. Atau seharusnya pernah ada beberapa burung-reptil, yang memperoleh
sebagian ciri bawaan burung di samping ciri bawaan reptil yang telah
dimilikinya. Oleh karena makhluk-makhluk ini ada pada fase transisi, semestinya
makhluk-makhluk tersebut mengalami kecacatan. Para evolusionis merujuk ke
makhluk-makhluk khayalan ini, yang mereka yakini pernah hidup pada masa lalu,
sebagai “bentukbentuk peralihan”.
Andaikata hewan-hewan seperti itu memang
pernah ada, maka seharusnya ada jutaan dan bahkan milyaran jumlah dan ragamnya.
Lebih penting lagi, sisa-sisa dari makhluk-makhluk aneh ini seharusnya muncul
pada catatan fosil. Di dalam The Origin of Species, Darwin
menerangkan:
Andaikata teori saya benar,
beragam makhluk peralihan yang tak terhitung jumlahnya, yang menghubungkan
sedekat mungkin semua spesies dari kelompok yang sama secara bersama-sama
harusnya pasti pernah ada … Konsekuensinya, bukti bahwa makhluk-makhluk tersebut
pernah ada hanya dapat ditemukan di antara sisa-sisa fosil.11
-
HARAPAN DARWIN HANCUR
BERKEPING-KEPING
Akan tetapi, walaupun para evolusionis telah
melakukan berbagai usaha yang keras selama ini untuk menemukan
fosilfosil semenjak pertengahan abad ke-19 di seluruh penjuru dunia, belum
ada bentuk-bentuk peralihan yang pernah ditemukan. Semua fosil yang diangkat
dari penggalian-peng-galian memperlihatkan bahwa, berlawanan dengan harapan para
evolusionis, kehidupan muncul di bumi ini dengan tibatiba dan telah sempurna.
Seorang ahli fosil Inggris terkenal, Derek V.
Ager, mengakui fakta ini, meskipun dia adalah seorang evolusionis:
Hal yang muncul tatkala kami
memeriksa catatan fosil secara mendetail, baik pada tingkatan ordo atau spesies,
kami menemukan — lagi dan lagi — bukannya evolusi bertahap, namun suatu
kemunculan mendadak sekelompok makhluk hidup disertai punahnya sekelompok
makhluk hidup yang lain.12
Ini berarti bahwa di dalam catatan fosil,
semua spesies makhluk hidup muncul dengan tiba-tiba dalam keadaan yang telah
sempurna, tanpa adanya bentuk-bentuk peralihan apa pun yang berada di antara
bentuk-bentuk itu. Ini saja sama sekali berlawanan dengan asumsi-asumsi Darwin.
Juga, ini adalah bukti yang sangat kuat bahwa makhluk hidup diciptakan.
Satu-satunya penjelasan suatu spesies makhluk hidup muncul dengan tiba-tiba dan
sempurna hingga setiap detailnya tanpa adanya moyang evolusioner apa pun adalah
bahwa spesies ini memang diciptakan. Fakta ini juga diakui oleh ahli biologi dan
evolusionis yang sangat terkenal, Douglas Futuyma:
Kreasi (penciptaan) dan
evolusi, di masing-masing yang memegangi pendangan ini, telah berusaha keras
membuat penjelasan sebisa mungkin atas asal-usul makhluk hidup. Apakah
organisme-organisme muncul di bumi dalam bentuk yang sudah sepenuhnya sempurna
baik atau sebaliknya. Jika tidak, maka organisme-organisme tersebut harus
berkembang dari bakal-spesies yang ada sebelumnya melalui suatu modifikasi
[perubahan sesuai dengan faktor lingkungan, bukan genetis, peny.]. Jika
organisme-organisme tersebut memang muncul dalam keadaan yang sudah sempurna,
sudah tentu telah diciptakan oleh suatu kecerdasan yang
mahakuasa.13
Sisa-sisa fosil menunjukkan bahwa makhluk
hidup muncul dalam keadaan yang mengalami perkembangan yang terbaik dan kondisi
yang sempurna di bumi ini. Ini bermakna bahwa “asal-usul spesies adalah —
kebalikan dari anggapan Darwin — bukan melalui evolusi melainkan penciptaan.
Pokok pembahasan yang kerap diangkat oleh para
pendukung teori evolusi adalah pokok bahasan tentang asal-usul manusia. Klaim
Darwinian menyatakan bahwa manusia modern saat ini berkembang dari sejenis
makhluk serupa kera. Pada waktu berlangsung proses evolusi yang berupa dugaan
ini, yang dianggap dimulai 4–5 juta tahun yang lalu, dinyatakan bahwa ada suatu
“bentuk-bentuk peralihan” antara manusia modern dan para leluhurnya itu. Menurut
skenario yang sepenuhnya khayalan ini, empat “kategori” dasar masuk dalam
daftar: 1.
Australopithecus [“Manusia-Kera yang menggunakan kakinya dalam berjalan”].
2. Homo habilis [“Manusia yang terampil menggunakan tangannya untuk berbagai
keperluan” atau “handy man”]. 3. Homo erectus [“Manusia yang berdiri
tegak”]. 4. Homo sapiens [“Manusia yang berpikir”].
Para evolusionis menyebut para moyang pertama yang
disebut serupa kera tadi sebagai manusia “Australopithecus” yang artinya “kera
Afrika Selatan”. Makhluk-makhluk ini sesungguhnya tak lain kecuali suatu spesies
kera kuno yang telah punah. Penelitian yang luas atas berbagai spesimen atau
contoh Australopithecus oleh dua orang ahli anatomi dunia terkenal dari Inggris
dan Amerika Serikat, yaitu Lord Solly Zuckerman dan Prof. Charles Oxnard, telah
memperlihatkan bahwa spesimen-spesimen tadi berasal dari suatu spesies kera
biasa yang telah punah dan tidak ada kemiripannya dengan
manusia.14
Para evolusionis menggolongkan tahapan evolusi manusia yang
berikutnya sebagai “homo”, yaitu “manusia”. Menurut klaim evolusionis, makhluk
hidup dalam rangkaian Homo lebih maju daripada Australopithecus. Para
evolusionis merancang sebuah skema evolusi khayalan dengan menata berbagai fosil
makhluk-makhluk ini dalam sebuah urutan tertentu. Skema ini khayalan karena tak
pernah terbukti adanya hubungan evolusi di antara dua kelas yang berbeda. Ernst
Mayr, salah seorang pendukung teori evolusi terkemuka pada abad ke-20,
mencantumkan dalam bukunya berjudul One Long Argument bahwa “[teka-teki]
bersejarah yang amat khusus seperti asal-asal kehidupan atau asal-usul Homo
sapiens, adalah sangat sulit dan bahkan mungkin jauh dari adanya penjelasan
memuaskan dengan tuntas.”15
Dengan membuat sketsa tentang
matarantai yaitu “Australopithecus > Homo habilis > Homo erectus > Homo
sapiens”, para evolusionis menyiratkan bahwa masing-masing dari spesies ini
adalah moyang satu sama lain. Akan tetapi, penemuan-penemuan terbaru dari para
ahli fosil mengungkapkan bahwa Australopithecus, Homo habilis, dan Homo erectus
hidup di berbagai bagian dunia ini pada waktu yang sama.16
Lagi pula, sebuah segmen
tertentu dari manusia yang digolongkan sebagai Homo erectus hidup hingga zaman
yang sangat modern. Homo sapiens neandarthalensis dan Homo sapiens
sapiens (manusia modern) hidup secara berdampingan di wilayah yang
sama.17
Situasi ini tampaknya menunjukkan tidak
validnya klaim bahwa mereka adalah moyang satu sama lain. Seorang ahli fosil
dari Harvard University, Stephen Jay Gould, menerangkan kebuntuan teori evolusi
ini walaupun dia sendiri adalah seorang evolusionis:
Apa yang terjadi pada “pohon
kekerabatan” kita jika terdapat tiga garis keturunan hominid yang hidup bersama
(A. africanus, Australopithecus yang kekar, dan H. habilis), yang mana tak satu
pun jelas-jelas berasal dari yang lainnya? Lagi pula, tak satu pun dari
ketiganya memperlihatkan kecenderungan evolusi apa pun pada masa hidupnya di
muka bumi.18
Singkat kata, skenario evolusi manusia, yang
diusahakan dengan dukungan alat bantu berbagai gambar beberapa makhluk “setengah
kera, setengah manusia” yang muncul di media dan buku-buku pelajaran, yaitu
sebagai sarana propaganda secara terang-terangan, tak lain hanyalah dongeng yang
tidak memiliki landasan ilmiah.
Lord Solly Zuckerman, salah seorang ilmuwan
paling terkenal dan disegani di Inggris, yang telah melakukan penelitian pada
pokok pembahasan ini selama bertahun-tahun, dan khususnya mempelajari
fosil-fosil Australopithecus selama 15 tahun, akhirnya menyimpulkan — meskipun
dirinya sendiri adalah seorang evolusionis — bahwa sesungguhnya tidak terdapat
pohon keluarga yang bercabang ke luar dari makhlukmakhluk seperti kera ke
manusia.
Zuckerman juga membuat sebuah “spektrum sains”
yang menarik. Dia membuat sebuah spektrum sains yang memiliki rentang dari yang
dipandangnya ilmiah hingga yang dipandangnya tidak ilmiah. Menurut spektrum
Zuckerman, bidang sains yang paling “ilmiah” — yaitu, tergantung pada data
konkret — adalah kimia dan fisika. Setelah itu barulah ilmuilmu biologi dan
kemudian ilmu pengetahuan sosial. Jauh di ujung spektrum tersebut, yang
merupakan bagian yang dipandang paling “tidak ilmiah”, adalah “persepsi ekstra
sensoris” — konsep-konsep seperti telepati dan indera keenam — dan terakhir
adalah “evolusi manusia”. Zuckerman menerangkan penalarannya:
Kita pun kemudian
tergerak menjauhi daftar kebenaran obyektif dan merambah ke bidang-bidang yang
disangka sebagai ilmu biologi, seperti pengetahuan yang
diperoleh tanpa menggunakan panca indera atau penafsiran sejarah fosil manusia,
yang mana bagi penganut setia (pada evolusi) apa saja adalah mungkin — dan yang
mana bagi seorang yang sangat percaya (terhadap evolusi) kadang-kadang bisa saja
mempercayai sekian banyak hal yang bertentangan pada saat yang
sama.19
Dongeng evolusi manusia tidak membuat
informasi penting apa pun kecuali berbagai interpretasi yang sifatnya
pra-anggapan terhadap sebagian fosil yang digali oleh orang-orang tertentu, yang
berpegang teguh secara membabi buta pada teori mereka.
- TEKNOLOGI DI DALAM MATA DAN TELINGA
Pokok pembahasan lain yang masih tak terjawab
oleh teori evolusi adalah kualitas persepsi yang luar biasa hebat di dalam mata
dan telinga.
Sebelum melanjutkan pada pokok pembahasan
mengenai mata, mari kita jawab secara singkat pertanyaan tentang “bagaimana kita
melihat”. Berkas cahaya yang datang dari sebuah benda jatuh berlawanan pada
retina mata. Di sini, berkas cahaya ini diteruskan dalam bentuk sinyal-sinyal
listrik oleh sel-sel dan sampai pada sebuah titik kecil di belakang otak yang
disebut pusat penglihatan. Sinyal-sinyal listrik ini ditangkap di dalam pusat
otak tadi sebagai sebuah citra setelah melewati serangkaian proses. Dengan latar
belakang teknis ini, mari kita berpikir sedikit.
Otak terisolasi dari cahaya. Artinya adalah
bahwa bagian dalam otak gelap gulita, dan cahaya tidak sampai ke lokasi di mana
otak berada. Tempat yang disebut sebagai pusat penglihatan tadi adalah sebuah
tempat yang gelap gulita di mana tak pernah ada cahaya yang pernah mencapainya;
mungkin bisa jadi adalah tempat tergelap yang pernah anda ketahui. Meskipun
demikian, anda mengamati sebuah dunia yang bercahaya dan terang di dalam tempat
yang gelap gulita ini.
Citra yang terbentuk di dalam mata begitu
tajam dan jelas yang bahkan teknologi abad ke-20 belum mampu mencapainya.
Misalnya, lihatlah buku yang sedang anda baca ini, kedua tangan anda yang
memegangnya, lalu angkatlah kepala anda dan lihatlah ke sekeliling diri anda.
Pernahkah anda melihat citra yang setajam dan sejelas ini di tempat lain mana
pun? Bahkan layar televisi yang paling canggih buatan pabrik televisi terbesar
di dunia ini pun tak dapat memberikan citra yang setajam ini bagi anda. Ini
adalah sebuah citra tiga dimensi, berwarna, dan sangat tajam. Selama lebih dari
100 tahun, sudah ribuan insinyur berusaha untuk mencapai ketajaman ini.
Pabrik-pabrik, gagasan-gagasan besar telah diajukan, banyak penelitian sudah
dilakukan, berbagai rancangan dan desain telah dibuat untuk mencapai tujuan ini.
Sekali lagi, lihatlah ke layar TV dan buku yang anda pegang ini. Anda akan
melihat ada sebuah perbedaan besar dari segi ketajaman dan kejelasannya. Di
samping itu, layar TV memperlihatkan kepada anda sebuah citra dua dimensi,
sedangkan dengan kedua mata anda, anda melihat sebuah perspektif tiga dimensi
yang memiliki kedalaman.
Selama bertahun-tahun, puluhan ribu insinyur
telah berusaha membuat TV tiga dimensi, dan mencapai kualitas daya penglihatan
mata. Ya, mereka telah membuat sebuah sistem televisi tiga dimensi namun tidak
mungkin untuk menontonnya tanpa mengenakan kacamata khusus; lagi pula, itu pun
hanyalah tiga dimensi buatan. Latar belakangnya lebih kabur, latar depannya
tampak seperti setting kertas. Tak pernah mungkin menghasilkan gambar
yang tajam dan jelas seperti mata. Baik pada kamera dan televisi, terdapat
kualitas gambar yang hilang.
Para evolusionis mengklaim bahwa mekanisme
yang menghasilkan gambar yang tajam dan jelas ini telah terbentuk secara
kebetulan. Kini, bila seseorang mengatakan kepada anda bahwa televisi di kamar
anda terbentuk sebagai hasil dari kebetulan, bahwa semua atomnya secara
kebetulan berkumpul menjadi satu dan menyusun alat yang menghasilkan sebuah
gambar, bagaimana menurut anda? Bagaimana atom-atom tersebut melakukan sesuatu
yang tak dapat dilakukan oleh ribuan orang?
Bila sebuah alat yang menghasilkan sebuah
gambar yang lebih primitif daripada mata tidak mungkin terbentuk secara
kebetulan, maka sangat jelaslah bahwa mata dan gambar yang dilihat oleh mata
tidak mungkin terbentuk secara kebetulan pula. Situasi yang sama berlaku juga
pada telinga. Telinga luar menangkap bunyi-bunyi yang ada pada aurikel
dan mengarahkannya ke telinga tengah; telinga tengah meneruskan
getarangetaran bunyi dengan mengintensifkannya; telinga bagian dalam mengirimkan
getaran-getaran ini ke otak dengan menerjemahkannya ke dalam sinyal-sinyal
listrik. Sebagaimana halnya pada mata, aksi mendengar berakhir di pusat
pendengaran di otak.
Situasi di dalam mata juga berlaku pada
telinga. Yaitu, otak terisolasi dari bunyi sebagaimana halnya dari cahaya: ia
tak membiarkan bunyi apa pun masuk. Dengan demikian, tak peduli seribut apa pun
keadaan di luar, bagian dalam otak sama sekali sunyi. Akan tetapi, bunyi yang
paling tajam ditangkap dan dirasakan di dalam otak. Di dalam otak anda, yang
terisolasi dari bunyi, anda mendengarkan simfoni sebuah orkestra, dan
mendengarkan semua hiruk pikuk di sebuah tempat keramaian. Akan tetapi,
andaikata tingkat bunyi di dalam otak anda diukur oleh sebuah alat yang akurat
pada saat itu, akan terlihat bahwa keadaan yang berlaku di sana adalah kesunyian
belaka.
Sebagaimana halnya kasus yang terjadi pada
pencitraan atau gambar, sudah puluhan tahun usaha dicurahkan dalam rangka
menghasilkan dan mereproduksi bunyi yang tepat dengan aslinya. Hasil dari
berbagai upaya ini adalah perekam bunyi (sound recorder), sistem HI-FI
(high-fidelity system), dan sistemsistem untuk mengindera bunyi. Walaupun
adanya semua teknologi ini dan ribuan insinyur dan pakar telah bekerja dalam
tugas besar ini, belum ada bunyi yang berhasil memiliki ketajaman dan kejernihan
sebagaimana halnya bunyi yang ditangkap oleh telinga. Pikirkan kualitas
tertinggi sistem HIFI yang dihasilkan oleh perusahaan terbesar dalam industri
musik. Bahkan di dalam alat-alat ini, tatkala bunyi direkam maka sebagiannya ada
yang hilang; atau tatkala anda menyalakan sebuah HI-FI maka anda selalu
mendengar desisan sebelum musiknya dimulai. Akan tetapi, bunyi yang dihasilkan
oleh teknologi tubuh manusia amat sangat tajam dan jernih. Telinga manusia tak
pernah menangkap suatu bunyi yang disertai oleh desisan atau bunyi atmosferis
sebagaimana halnya HI-FI; ia menangkap bunyi tepat sebagaimana adanya, tajam dan
jernih. Demikianlah adanya semenjak manusia diciptakan.
Sejauh ini, tak ada perangkat visual atau
perekam buatan manusia yang memiliki kepekaan dan keberhasilan dalam menangkap
data sensoris sebagaimana halnya mata dan telinga.
Walaupun demikian, sejauh yang berkaitan
tentang penglihatan dan pendengaran, sebuah fakta yang lebih luhur ada di balik
semua ini.
-
MILIK SIAPAKAH KESADARAN YANG
MELIHAT DAN MENDENGAR DI DALAM OTAK INI?
Siapakah dia yang menyaksikan dunia yang
mempesona di dalam otaknya, mendengarkan berbagai simponi dan kicau
burung-burung, dan mencium keharuman bunga mawar?
Rangsangan yang berasal dari mata, telinga,
dan hidung manusia menuju ke otak sebagai impuls-impuls syaraf listrik kimiawi.
Dalam buku-buku biologi, fisiologi, dan biokimia, anda dapat memperoleh banyak
rincian tentang bagaimana citra ini terbentuk di dalam otak. Bagaimana tidak
akan pernah terbayangkan pada diri anda fakta terpenting mengenai pokok
pembahasan ini:
Siapakah yang menangkap impuls-impuls syaraf
listrik kimiawi sebagai citra, bunyi, bau, dan peristiwaperistiwa sensoris di
dalam otak? Ada sebuah kesadaran di dalam otak yang menangkap dan merasakan
semua ini tanpa merasa perlu memiliki mata, telinga, dan hidung. Milik siapakah
kesadaran ini? Tak diragukan bahwa kesadaran ini bukanlah milik syaraf-syaraf,
lapisan lemak, dan neuron yang menyusun otak. Inilah sebabnya mengapa para
materialis Darwinian, yang meyakini bahwa segala hal terdiri dari materi, tak
mampu memberikan jawaban apa pun atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Kesadaran ini adalah ruh yang diciptakan oleh
Allah. Ruh ini tak memerlukan mata untuk menyaksikan gambar, ataupun telinga
untuk mendengar bunyi. Lagi pula, ia tak memerlukan otak untuk berpikir.
Setiap orang yang membaca fakta yang eksplisit
dan ilmiah ini hendaknya berpikir mendalam tentang Allah Yang Mahakuasa,
hendaknya bertakwa dan berlindung kepada-Nya, Dia-lah Yang telah menjejalkan
seluruh alam semesta ini ke dalam sebuah tempat yang gelap gulita yang volumenya
beberapa sentimeter kubik saja dalam bentuk tiga dimensi, berwarna, memiliki
bayang-bayang, dan bercahaya.
Informasi yang telah kami sajikan sejauh ini
memperlihatkan kepada kita bahwa teori evolusi adalah sebuah klaim yang
jelas-jelas tidak sejalan dengan penemuan-penemuan ilmiah. Klaim teori ini
mengenai asal-usul kehidupan tidak konsisten dengan sains, mekanisme evolusi
yang diajukannya tidak memiliki kekuatan evolusioner, dan fosil-fosil
menunjukkan bahwa bentuk-bentuk peralihan yang menjadi syarat teori ini tidak
pernah ada. Maka, tentu saja selanjutnya teori ini mesti disisihkan sebagai
sebuah pemikiran yang tidak ilmiah. Inilah bagaimana sekian banyak pemikiran
seperti model bumi sebagai pusat alam semesta telah dicabut dari agenda sains di
sepanjang sejarah.
Akan tetapi, teori evolusi tetap disimpan
rapat-rapat dalam agenda sains. Beberapa orang bahkan berupaya untuk
menggambarkan kritikan yang diarahkan terhadap teori ini sebagai sebuah
“serangan terhadap sains”. Mengapa?
Alasannya adalah karena teori evolusi adalah
sebuah kepercayaan dogmatis bagi beberapa kalangan. Kalangan-kalangan ini dengan
membabi buta bersikap setia pada filsafat materialisme dan mengadopsi Darwinisme
karena inilah satu-satunya penjelasan materialis yang dapat dikemukakan mengenai
bagaimana proses bekerjanya alam ini.
Cukup menarik, mereka juga mengakui fakta ini
dari waktu ke waktu. Seorang ahli genetika terkenal dan seorang evolusionis yang
lantang, Richard C. Lewontin dari Harvard University, mengakui bahwa dirinya
“pertama-tama dan terutama adalah seorang materialis dan kemudian barulah
seorang ilmuwan”:
Bagaimanapun bukanlah
metode-metode dan lembagalembaga ilmu pengetahuan itu yang membuat kami menerima
sebuah penjelasan material tentang fenomena dunia, namun justru sebaliknya, kami
dipaksa oleh kesetiaan kami yang sifatnya a priori kepada sebab-sebab material
untuk menciptakan sebuah alat penyelidikan dan seperangkat konsep yang
menghasilkan penjelasan-penjelasan yang bersifat material, tak peduli betapapun
hal ini bertentangan dengan intuisi, tak peduli betapapun membingungkannya bagi
orang yang masih awam. Lagi pula, materialisme adalah absolut, maka kita tidak
dapat membiarkan adanya pembahasan yang berhubungan dengan Tuhan dalam hal
ini.20
Ini adalah pernyataan-pernyataan yang tersurat
bahwa Darwinisme adalah sebuah dogma yang tetap hidup hanya demi kesetiaan
terhadap filsafat materialisme. Dogma ini mempertahankan bahwa tak ada wujud
kecuali materi. Dengan demikian, argumen yang dikemukakannya adalah bahwa materi
tak bernyawa dan tidak memiliki kesadaran itulah yang menciptakan kehidupan.
Teori ini dengan gigih menyatakan bahwa jutaan ragam spesies makhluk hidup;
misalnya, burung, ikan, jerapah, harimau, serangga, pohon, bunga, ikan paus, dan
manusia berasal dari hasil interaksi di antara materi seperti hujan yang turun,
kilat yang bercahaya, dsb., berasal dari materi yang tak hidup. Ini adalah
sebuah ajaran yang bertentangan baik dengan akal dan sains. Namun para Darwinian
terus mempertahankannya sedemikian itu hanya demi agar “tidak membiarkan adanya
pembahasan tentang Tuhan dalam hal ini.”
Siapa pun yang tidak melihat ke asal-usul
makhluk hidup dengan sebuah prasangka materialis akan melihat kebenaran yang
sangat jelas ini: Semua makhluk hidup adalah karya Sang Pencipta, Yang
Mahakuasa, Mahabijaksana, dan Maha Mengetahui. Sang Pencipta ini adalah Allah,
yang telah menciptakan seluruh alam semesta dari ketidakadaan, mendesainnya
dalam bentuk yang paling sempurna, dan memberi bentuk kepada semua makhluk
hidup.
-
TEORI EVOLUSI ADALAH MANTRA SIHIR
PALING AMPUH DI DUNIA
Patut untuk memberikan penegasan di sini bahwa
siapa pun yang terlepas dari prasangka dan pengaruh dari ideologi tertentu,
yakni yang hanya menggunakan nalar dan logika berpikirnya, akan dapat memahami
dengan gamblang bahwa menerima begitu saja sebagai suatu kebenaran pada teori
evolusi — yang menyajikan kepada nalar berbagai takhayul dari
masyarakat-masyarakat yang tak memiliki pengatahuan atau budaya — adalah sangat
mustahil.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
mereka yang mempercayai teori evolusi berpikir bahwa beberapa unsur atom dan
molekul yang diletakkan di dalam suatu tangki kosong yang besar mampu
memproduksi sendiri aktivitas berpikir, penalaran, para profesor, mahasiswa,
ilmuwan seperti Einstein dan Galileo, seniman sekaliber Humphrey Bogart
[terkenal dengan perannya dalam film Casablanca, 1942, peny.],
Frank Sinatra dan Luciano Pavarotti, demikian juga antilop, buah lemon dan bunga
mawar berwarna pink [Dianthus caryophyllus, peny.]. Lebih jauh
lagi, para ilmuwan dan guru-guru besar yang mempercayai kebohongan ini adalah
tokohtokoh yang terpelajar. Inilah yang menjadi alasan yang amat dapat
dibenarkan untuk menyatakan bahwa teori evolusi sebagai “mantra sihir paling
ampuh sepanjang sejarah”. Belum pernah sebelumnya sistem kepercayaan atau
gagasan lain apa pun yang begitu dapat mempengaruhi daya nalar manusia, sampai
enggan untuk membiarkan kemampuan nalar itu agar berpikir cerdas dan logis, dan
begitu gigih menutup-nutupi kebenaran dari nalar seakan-akan potensi berpikir
ini telah dibutakan. Ini bahkan kebutaan yang lebih burruk dan tidak dapat
dipercaya ketimbang bangsa Mesir yang menyembah Ra, Dewa Matahari, penyembahan
totem di beberapa bagian dari belahan benua Afrika, rakyat Saba’ [Yaman Selatan,
sebelum bersatu, peny.] yang menyembah matahari, suku bangsa Nabi Ibrahim
yang menyembah berhala yang mereka buat sendiri dengan tangan mereka atau umat
Nabi Musa yang menyembah Anak Sapi yang terbuat dari emas.
Sesungguhnya, keadaan ini adalah dampak dari
tidak digunakannya nalar seperti yang telah diisyaratkan oleh Allah dalam
al-Qur’an. Dia mewahyukan dalam banyak ayat bahwa sebagian akal pikiran kelompok
manusia akan dibuat tidak berfungsi dan mereka akan tidak mempunyai kemampuan
untuk melihat kebenaran. Beberapa dari ayat itu adalah sebagai berikut:
Bagi orang-orang yang tidak beriman,
sama saja bagi mereka apakah engkau memberi peringatan kepada mereka, atau tidak
[memberi mereka peringatan], mereka tidak akan beriman. Allah telah menutup
erat-erat kalbukalbu dan pendengaran mereka, sedangkan penglihatan mereka diberi
penutup. Mereka akan mendapatkan hukuman siksaan yang mengerikan.
(Q.s. al-Baqarah: 6-7).
... Mereka memiliki kalbu-kalbu yang tidak
digunakan untuk memahami. Mereka memiliki mata [hati] yang tidak dipergunakan
untuk mengamati. Mereka memiliki telingatelinga yang tidak digunakan untuk
mendegarkan. Orang-orang semacam itu seperti binatang ternak. Sama sekali tidak,
mereka bahkan lebih jauh tersesat! Mereka adalah yang tidak memiliki kesadaran.
(Q.s. al-A‘raf: 179).
Bahkan, jika kami bukakan bagi mereka salah
satu pintu menuju langit, dan menghabiskan waktunya melakukan pendakian menembus
[langit] itu, mereka sebatas akan mengucapkan kata-kata,
“Penglihatan-penglihatan mata [kalbu] kami telah dibuat tidak berpikir jernih!
Atau lebih buruk kami telah dikuasai di bawah pengaruh [mantra] sihir!”
(Q.s. al-Hijr: 14-15).
Ungkapan kata-kata tidak dapat melukiskan
betapa mengherankannya kejadian semacam itu bahwa mantra sihir telah
mencengkeram erat kelompok besar suatu masyarakat di bawah kendali pengaruhnya,
menghalangi sekelompok orang dari kebenaran, yang tidak dapat dipatahkan selama
150 tahun. Mudah untuk mencari alasan yang dapat dipahami dari seseorang atau
sekelompok kecil masyarakat begitu rela untuk percaya pada skenario dan
klaim-klaim yang sukar dipercaya penuh dengan kebodohan dan kepalsuan dari segi
logika berpikir. Meskipun begitu, “sihir” adalah penjelasan yang paling
memungkinkan ditujukan bagi kelompok manusia dari pelbagai penjuru dunia yang
mempercayai bahwa unsur-unsur atom yang tidak memiliki kesadaran dan ruh secara
tiba-tiba memutuskan atas kemauannya saling menggabungkan diri dan membentuk
alam semesta yang menjalankan fungsinya, tanpa adanya suatu sistem pengaturan
yang tidak memiliki cacat, memiliki disiplin, nalar, dan kesadaran; membentuk
planet Bumi beserta panoramanya dengan begitu sempurna untuk mendukung
kehidupan, dan membentuk makhluk hidup penuh dengan sistem yang amat kompleks.
Sesunggguhnya, Allah menyatakan dalam
wahyu-Nya tentang kisah peristiwa antara Musa dan Firaun bahwa sebagian kelompok
manusia yang mendukung filsafat ateistik sebenarnya mempengaruhi orang-orang
lain melalui sihir. Tatkala Firaun diberi penjelasan tentang ajaran agama yang
benar, dia bertitah kepada Nabi Musa untuk menemui ahli-ahli sihir di istananya.
Ketika Nabi Musa melakukannya, dia menyuruh mereka untuk meperlihatkan kemampuan
mereka lebih dahulu. Ayat di dalam al-Qur’an lantas melanjutkan:
Dia [Musa] berkata, “Lemparkanlah!” Dan tatkala mereka
melemparkan, ahli-ahli sihir itu menebarkan [mantra-mantra] sihir ke penglihatan
orang-orang dan mempengaruhi yang hadir dengan ketakutan yang besar terhadap
mereka. Para ahli sihir itu mengeluarkan sihir yang sangat
kuat. (Q.s.
al-A‘raf: 116).
Sebagaimana yang dapat
kita pahami, ahli-ahli sihir Firaun mampu menipu setiap orang, kecuali Nabi Musa
dan orang-orang yang beriman kepada ajarannya. Meskipun begitu, kebenaran yang
nyata yang dihadirkan oleh Nabi Musa dapat mematahkan mantra sihir itu, atau
“telah menelan apa yang telah mereka buat dengan tangan mereka” sebagaimana yang
dijelaskan oleh ayat berikut ini.
Kami wahyukan kepada Musa, “Jatuhkanlah tongkat kayu milikmu.” Dan
tongkat itu langsung saja telah menelan apa yang telah mereka buat dengan tangan
mereka. Demikianlah, kebenaran menjadi nyata, dan apa yang mereka perbuat
ditunjukkan sebagai kepalsuan. (Q.s. al-A‘raf: 117-119).
Sebagaimana yang dapat dipahami dari ayat di
atas, tatkala ditunjukkan bahwa perbuatan kelompok orang yang pertama kali
menebarkan mantra-mantra ini kepada orang lain semata mata adalah tipuan ilusi,
pelaku-pelakunya kehilangan muatan nilai-nilai yang membuat dia dipercaya. Pada
hari ini pun, kecuali mereka yang berada di bawah pengaruh mantra sihir serupa
mempercayai klaim-klaim pendapat [penganut teori evolusi] yang konyol itu di
balik kedok sikap ilmiah mereka dan menghabiskan usia mereka membela hal [yang
konyol] biarkanlah mereka, orang-orang itu juga nantinya akan merasa
dipermalukan tatakala kebenaran yang sepenuhnya akan muncul dan mantra
[sihirnya] itu dipatahkan. Pada kenyataannya, Malcolm Muggeridge, seorang
filosof ateis dan pendukung teori evolusi mengakui dia khawatir hanya dengan
kemungkinan semacam itu di masa mendatang.
Saya sendiri yakin bahwa teori
evolusi, khususnya sejauh yang selama ini telah diterapkan, akan berubah menjadi
salah satu lelucon terbesar dalam buku-buku sejarah di masa depan. Generasi di
masa yang akan datang kelak terheranheran dan bertanya-tanya bagaimana bisa
suatu hipotesis yang begitu tidak meyakinkan dan meragukan dapat diterima
sedemikian rupa dengan muatan-muatan diterima secara amat tergesa-gesa di
dalamnya.21
Masa depan itu tidaklah begitu jauh:
Sebaliknya, orang-orang secepatnya akan melihat bahwa teori “kebetulan” tidak
mengandung kebaikan, dan akan meninjau ulang teori evolusi sebagai penipuan dan
mantra yang paling buruk di dunia. Mantra sihir ini mulai dengan amat cepat
diangkat dari kalbu orang-orang di berbagai penjuru dunia. Banyak orang yang
bertanya-tanya dengan penasaran bagaimana bisa bahwa mereka pernah tertipu oleh
kebohongan itu.
Mereka
menjawab: “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha mengetahui
lagi Mahabijaksana.” (Surat al-Baqarah: 32).
|
- Hugh Ross,
The Fingerprint of God, hlm. 50.
- Sidney Fox dan Klaus Dose,
Molecular Evolution and The Origin of Live (San Francisco: W. H. Freeman and
Company, 1972), hlm 4
- Alexander I. Oparin, Origin
of Life (New York: Dover Publication, 1953 [reprint]), hlm. 196.
- “New Evidence on Evolution
of Early Atmosphere and Life”,
Buletin Masyarakat Meteorologi Amerika
Serikat, vol. 63, bulan November 1982, hlm. 1328-1330.
- Stanley
Miller, Molecular Evolution of Live: Current Status of the Prebiotic Synthesis
of Small Molecules, 1986, hlm. 7.
- Jeffrey Bada, Earth,
Februari 1998, hlm. 40.
- Leslie E. Orgel, “The
Origin of Life on Earth”, Scientific American, vol. 271, bulan Oktober 1994,
hlm. 78.
- Charles Darwin, The Origin
of Species by Means of Natural Selection, (New York: The Modern Library, t.t.),
hlm. 127.
- Charles Darwin, The Origin
of Species: A Facsimile of the First Edition, (Harvard: Harvard University
Press, 1964), hlm. 184.
- B. G.
Ranganathan, Origin? (Pennsylvania: The Banner of Truth Trust, 1988), hlm. 7.
- Charles Darwin, The Origin
of Species: A Facsimile of the First Edition (Harvard: Harvard University Press,
1964), hlm. 179.
- Derek A. Ager, “The Nature
of the Fossil Record”,
Laporanlaporan yang Dipublikasikan oleh Asosiasi
Geologi Inggris, vol. ke-87, 1976, hlm. 133.
- Douglas J. Futuyma, Science
on Trial (New York: Pantheon Book, 1983), hlm. 197.
- Solly
Zuckerman, Beyond The Ivory Tower (New York: Toplinger Publication, 1970), hlm.
75-94;
Charles E. Oxnard, “The Place of Australopithecines in Human
Evolution: Grounds for Doubt”, Nature, vol. ke-258, hlm. 389.
- “Dapatkah
sains dituntaskan untuk selamanya oleh keyakinan para ilmuan bahwa mereka telah
memberi jawaban yang final atau keengganan masyarakat untuk memberikan
perhatian?” Scientific American, Desember 1992, hlm. 20.
- Alan Walker, Science, vol.
207, edisi 7 Maret 1980, hlm. 1103; A. J. Kelso, Physical Anthropology, edisi I,
J. B. Lipincott Co.,
New York, 1970, hlm. 221; M. D. Leakey, Olduvai Gorge,
vol. III (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), hlm. 272.
- Jeffrey Kluger, “Not So
Extinct After All: The Primitive Homo Erectus May Have Survived Long Enough to
Coexist with Modern Humans”, Majalah Time, edisi 23 Desember 1996.
- S. J. Gould, Natural
History, vol. ke-85, 1976, hlm. 30.
- Solly
Zuckerman, Beyond the Ivory Tower, hlm. 19.
- Richard
Lewontin, “The Demon-Haunted World”, The New York Review of Books, edisi 9
Januari 1997, hlm. 28.
- Malcolm Muggeridge, The End
of Christendom, Grand Rapids, Eerdmans, 1980, hlm. 43.
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar