MUSLIM NEGARAWAN
Sabtu, 19 Mei 2012
Rabu, 16 Mei 2012
Kamis, 03 Mei 2012
Krisis Kepemimpinan (Leadership)
Krisis kepemimpinan Gerakan Dakwah sangat terasa. Krisis tersebut
bukan karena Gerakan Dakwah gagal melahirkan para pemimpin besar
sebagaimana para pendirinya, akan tetapi yang terjadi adalah sistem
tarbiyah (kaderisasi) dan mekanisme kepemimpinan yang macet dan tidak
memilkiki standar/ukuran yang jelas sehingga mempengaruhi kinerja
Gerakan Dakwah itu sendiri. Bahkan lebih parah lagi, kepemimpinan
terkesan diktator sehingga tidak ada peluang berbeda pendapat, atau
merubah keputusan yang telah diputuskan oleh pemimpin atau elitenya
kendati bertentangdan dengan nilai-nial Islam.
Semua harus tunduk atas segala keputusan jamaah/organisasi, termasuk
masalah-masalah kecil dan huquq syakhshiyyah (hak pribadi) seseorang.
Anggota jamaah yang kritis dan berfikir besar, selalu dihadapkan kepada :
taat atau tinggalkan jamaah / Gerakan Dakwah ini. Atau paling tidak
dikucilkan dan diisukan dengan berbagai isu yang tidak berdasar.
Akhirnya isu-isu itulah yang memenuhi pikiran dan hati mereka yang
seharusnya diisi dengan iman, ilmu pengetahuan, kasih sayang dan saling
menghormati. Dialog, diskusi, tabayyun (konfirmasi) seakan diharamkan
dan jarang sekali dilaksanakan. Sebaliknya, setiap momentum atau setiap
pertemuan selalu diberikan taujihat (arahan) terkait taat, tsiqah,
husnizh-zhan dan sebagainya. Padahal dialog dan tabayyun itu merupakan
bagian dari ajaran Islam yang utama, sebagaimana yang dicontohkan dalam
kehidupan dan kepemimpininan Nabi Muhammada Saw dan para Sahabatnya.
Nyaris semua Gerakan Dakwah hari ini memiliki keyakinan (paling tidak
dalam prakteknya), bahwa para pemimpinlah yang berhak membahas semua
masalah. Semua keputusan harus ditaati oleh semua kadernya. Kalau tidak,
mereka akan diancam untuk dikeluarkan dari Gerakan Dakwah.
Itulah fakta kepemimpinan Gerakan Dakwah masa kini. Lalu, bagaimana
dengan pemimpin-pemimpin besar umat yang lahir sepanjang sejarah?
Bagaimana mereka lahir? Apakah ada peran Gerakana Dakwah dalam
kemunculan mereka? Sekitar 1987, terjadi diskusi serius antara mahasiswa
dengan seorang tokoh besar dakwah DR. Ahmad Al-Assal seputar krisis
kepemimpinan Gerakan Dakwah. Beliau ketika itu menjabat Vice President
Internationla Islamic University, Islambad.
Dalam diskusi yang memakan waktu lebih dari tiga jam itu, kami
mendapat kesimpulan, bahwa terkait pemimpin besar, katakanlah seperti,
Khulafaurrasyidin, Umar bin Abdul Aziz, Sholahuddin Al-Ayubi, Muhammada
Al-Fateh, Hasan Al-banna, Abul A’la Al-Maududi dan seterusnya,
kelihatannya merupakan hak perogratif Allah. Mereka tidak lahir dari
rekayasa manusia. Sehebat apapun tokoh atau organisasi dakwah, belum
pernah melahirkan pemimpin besar, minimal sebesar mereka.
Artinya, para pemimpin besar umat (al-Imam al-A”zhom dan apapun
istilahnya) sepanjang masa, termasuk diangkat-Nya para Nabi, termasuk
Nabi Muhammad Saw dari keturunan siapa, dari suku apa, di wilayah mana
dan kapan waktunya merupakan hak dan rahasia Allah. Hal tersebut di
dasari oleh fakta sejarah yang disinyalir pula oleh Allah dalam
Al-Qur’an surat Al-An’am (6) : 124
“…Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya….”
Sejarah juga membuktikan, kaum Bani Israel misalanya. Mereka tidak pernah menduga, apalagi mengetahu nabi terakhir diutus dari suku Quraisy pada abad ke 6 masehi. kendati sudah dijelaskan dalam Kitab Taurat dan Injil bahwa akan lahir seorang nabi bernama Ahmad. Demikian pula yang menaklukkan Palestina pertama kali adalah Khalifah Umar Ibnul Khattab, yang membesakannya dari pendudukan Salibis adalah Sholahuddin Al-Ayubi dari bangsa Kurdistan (selatan Irak). Begitu pula dengan pemimpin besar Islam yang di tangannya terealisasikan prediksi Nabi Saw tentang penaklukkan Istambul (Konstantinopel) sekitar enam abad setelah Beliau bersabda, yakni melalui seorang pemimpin Islam muda bernama Muhammad Al-fatih.
“…Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya….”
Sejarah juga membuktikan, kaum Bani Israel misalanya. Mereka tidak pernah menduga, apalagi mengetahu nabi terakhir diutus dari suku Quraisy pada abad ke 6 masehi. kendati sudah dijelaskan dalam Kitab Taurat dan Injil bahwa akan lahir seorang nabi bernama Ahmad. Demikian pula yang menaklukkan Palestina pertama kali adalah Khalifah Umar Ibnul Khattab, yang membesakannya dari pendudukan Salibis adalah Sholahuddin Al-Ayubi dari bangsa Kurdistan (selatan Irak). Begitu pula dengan pemimpin besar Islam yang di tangannya terealisasikan prediksi Nabi Saw tentang penaklukkan Istambul (Konstantinopel) sekitar enam abad setelah Beliau bersabda, yakni melalui seorang pemimpin Islam muda bernama Muhammad Al-fatih.
Kalau demikian halnya, apakah kita harus menunggu lahirnya pemimpin
besar itu, baru kepemimpinan Gerakan Dakwah berjalan dengan baik dan
sempurna? Jawabannya tentulan tidak. Karena Islam mewajibkan dan
mencintai profesionalisme dan keteraturan. Sebab itu, saatnya merumuskan
pola atau format kepemimpinan Gerakan Dakwah agar sesuai dengan fungsi
kepemimpinan itu sendiri, yakni menyayangi, mengajarkan ilmu,
mentransfer/menularkan ruh imaniyah (spirit keimanan), memberikan
keteladanan dan menegakkan kedisiplinan termasuk terhadap diri, keluarga
dan elite mereka sendiri.
Yang amat dirasakan adalah dominasi pemimpin yang berlebihan terhadap arah perjalanan jama’ah atau organisasi dakwah sehingga menyebablan dakwah terseok-seoak dan terkadang menyimpang dari jalan yang benar di tengah ancaman dan sekaligus peluang yang sangat besar. Di antara penyebabnya ialah tidak ada keseimbangan antara tarbiyah jundiyah (kaderisasi keprajuritan) dengan tarbiyah qiyadiyyah (kaderisasi kepemimpinan) . Akibatnya, semuanya hanya siap menjadi junidiyyun muthi’ (prajurit yang taat), tanpa diiringi dengan pembangunan sifat kritis, kepemimpinan dan rasa tanggung jawab. Gerakan Dakwah hari ini membutuhkan al-Qo-id al-Hazim (Smart Leader), yakni pemimpin yang cerdas, cermat dan teliti serta kokoh dalam memegang prinsip.
Yang amat dirasakan adalah dominasi pemimpin yang berlebihan terhadap arah perjalanan jama’ah atau organisasi dakwah sehingga menyebablan dakwah terseok-seoak dan terkadang menyimpang dari jalan yang benar di tengah ancaman dan sekaligus peluang yang sangat besar. Di antara penyebabnya ialah tidak ada keseimbangan antara tarbiyah jundiyah (kaderisasi keprajuritan) dengan tarbiyah qiyadiyyah (kaderisasi kepemimpinan) . Akibatnya, semuanya hanya siap menjadi junidiyyun muthi’ (prajurit yang taat), tanpa diiringi dengan pembangunan sifat kritis, kepemimpinan dan rasa tanggung jawab. Gerakan Dakwah hari ini membutuhkan al-Qo-id al-Hazim (Smart Leader), yakni pemimpin yang cerdas, cermat dan teliti serta kokoh dalam memegang prinsip.
Sesungguhnya posisi pemimpin bagi sebuah organisasi atau jama’ah itu
bagaikan otak manusia bagi semua anggota tubuhnya. Bilamana otak
tersebut mengalami ganguan, seperti gangguan yang diakibatkan pembulu
darah disekitarnya pecah, maka otak akan mengalami guncangan hebat yang
berakibat sebagian atau semua anggota tubuh akan mengalami kelumpuhan,
atau ap yang dinamakan ilmu kedokteran dengan strook. Strook itu bisa
mengakibatkan sipenderitanya lumpuh secara parsial dan bisa juga total,
tergantung tinkatan strooknya. Jika yang terganggu itu adalah saraf otak
yang terkait dengan fungsi menjaga kestabilan anggota tubuh manusia,
maka anggota tubuh tertkait akan mengalami gangguan atau koslet.
Akibatnya, ia tidak berfungsi secara baik. Demikian juga dengan
kepemimpinan dalam sebuah organisasi, tak terkecuali organisasi Gerakan
Dakwah sekalipun, karena para pemimpinnya bukanlan para Nabi dan Rasul
yang ma’shum (terpelihara) dari berbagai gangguan dan ancaman penyakit
kepemimpinan.
Untuk lebih jelas gambaran krisis kepemimpin yang sedang dialami oleh
Gerakan Dakwah masa kini, alangkan baikanya kita memaparkan model-model
kepemimpinan buruk yang lazim terjadi dalam sebuah organisai keagamaan,
bahkan jauh sebelum diutusnya Muhammad Saw sebagai Rasul.
Karena, sejarah telah membuktikan, bahwa organisasi keagamaan, apapun
bentuknya (seperti Jama’ah, Gerakan Dakwah, Partai Politik, Negara yang
berdasarkan agama dan sebagainya) cendrung high risk (beresiko tinggi)
terhadap penyimpangan karena memiliki legitimasi agama atau wahyu, yang
bermuara dari kekeliruan memahami wahyu dan tidak istiqomah (konsisten)
atas arahan wahyu. Pada waktu yang sama, organisasi keagamaan juga
memiliki big opportunity (kesempatan besar) dalam melakukan perubahan
dan perbaikan masyarakat dan pemerintahan karena nilai-nilai yang
diusung memiliki keunggulan dan kekuatan yang luar biasa . Hal tersebut
akan terjadi bila Gerakan Dakwah memiliki persyaratan-persyaratan utama
seperti, berjalan pada jalur yang benar; yakni sesuai dengan ajaran
Islam itu sendiri, bukan dilandasi penafsiran-penafsiran yang terkesan
dipaksakan, memiliki organisasi yang solid, pemimpin yang bermutu (Smart
Leader) dan sebagainya. Jika tidak, Gerakan Dakwah hanya akan menambah
problematika umat yang sedang menumpuk seperti sekarang ini.
Semboyan-semoboyan yang mentereng seperti, kemajuan dan kejayaan umat,
penyebaran rahmat bagi alam semesta, bersih, peduli, profesional atau
Ustadziyatyul ‘Alam (Guru Global), hanya bagaikan fatamorgana atau mimpi
di siang bolong.
Agar menambah ketajaman pemahaman kita tertang kepemimpinan dalam
Islam, maka perlu pemaparan model-model kepemimpinan yang muncul dalam
organisasi keagamaan. Melalui pemaparan mopdel-model tersebut, kita juga
akan menyadari dan mengakui bahwa krisis kepemimpinan itu benar-benar
sedang terjadi dalam Gerakan Dakwah kita. Jika sudah diketahui dengan
pasti dan cermat, kita wajib berupaya maksimal untuk mencarikan jalan
keluarnya agar Gerakan Dakwah tidak mengalami kelumpuhan, pembusukan
atau bergerak tanpa dhawabith syar’yyah (pakem-pakem syar’i) yang sudah
baku.
Kalau kita cermati dengan baik, paling tidak ada tiga model kepemimpinan yang berkembang dalam Gerakan Dakwah saat ini:
1. Kepemimpinan Wayangisme. Adapun cirri-cirinya :
a. Dualisme kepemimpinan atau dengan kata lain, terdapat pemimpin
formal dan inforlmal disebabkan berbagai alasan, di antaranya, pemahaman
yang meyakini masih dalam periode Dakwah Sirriyyah (Dakwah
Tersembunyi). Kalau kita lihat sejarah dakwah Rasul Saw, marhalah
sirryah (periode rahasia) itu sekitar tiga tahun saja. Setelah itu,
Allah perintahkan dakwah jahriyah (terang-terangan). Nabi Muhammada Saw.
siap menghadapi berbagai tantangan yang mengahdang Dakwah dan bahkan
pengusiran dari negerinya serta upaya pembunuhan terhadap Beliau.
b. Biasanya pemimpin informal lebih berkuasa sehingga pemimpin formal
hanya sebagai boneka yang dapat dikendalikan ke mana arah dan tujuan
yang dikehendakinya. Akibatnya, masyarakat menjadi bingung dan sulit
memahami arah perjalanan Gerakan Dakwah yang sebenarnya. Musuh-musush
dakwah semakin mudah menuduh Gerakan Dakwah tersebiut dengan berbagai
tuduhan negative seperti, liar, sempalan, berbahaya, ancaman keamanan
dan sebagainya. Mereka menyebutya dengan OTB (Organisasi Tanp Bentuk).
2. Masyayekh (Tradisionalisme Dibungkus Agama). Ciri-cirinya adalah :
a. Sentralistik kekuasaan.
b. Sentralistik keputusan dan pendapat
c. Sentralistik keuangan.
d. Sentralistik keilmuan dan pengalaman.
e. Sentralistik penghormatan dan wibawa
f. Di mata orang-orang terdekatnya (kelopmpok elitenya) atau di hadapan sebagian besar anggota jam’ahnya, sang pemimpin bagaikan Nabi, atau Wali, Dewa dan bahkan ada yang menganggapnya bagaikan Malaikat yang tidak pernah salah dan tidak memiliki kelemahan, atau diyakini sangat suci. Semua ucapan dan pendapatnya dianggab bagaikan sabda atau firman.
b. Sentralistik keputusan dan pendapat
c. Sentralistik keuangan.
d. Sentralistik keilmuan dan pengalaman.
e. Sentralistik penghormatan dan wibawa
f. Di mata orang-orang terdekatnya (kelopmpok elitenya) atau di hadapan sebagian besar anggota jam’ahnya, sang pemimpin bagaikan Nabi, atau Wali, Dewa dan bahkan ada yang menganggapnya bagaikan Malaikat yang tidak pernah salah dan tidak memiliki kelemahan, atau diyakini sangat suci. Semua ucapan dan pendapatnya dianggab bagaikan sabda atau firman.
g. Untouchable (tidak bisa tersentuh) baik oleh peraturan, kritik maupun nasehat, karena dia yang mengendalikan peraturan.
h. Selalu mentaujih (mengarahkan) kendati keluar dari sistem dan konteks aturan main yang sudah ditetapkan.
i. Tidak mau membangun suasana dialogis dan menghindar dari dialog.
j. Selalu menghina atau mengecilkan kelompok atau tokoh lain di luar jama’ah dan kelompoknya, termasuk anggota Jama’ah yang yang dianggapnya bermasalah karena krtis terhadap keputusan-keputusannya.
h. Selalu mentaujih (mengarahkan) kendati keluar dari sistem dan konteks aturan main yang sudah ditetapkan.
i. Tidak mau membangun suasana dialogis dan menghindar dari dialog.
j. Selalu menghina atau mengecilkan kelompok atau tokoh lain di luar jama’ah dan kelompoknya, termasuk anggota Jama’ah yang yang dianggapnya bermasalah karena krtis terhadap keputusan-keputusannya.
k. Jarang yang berani memberikan nasehat kepadanya. Kalau ada yang
berani mengkritik dan memberikan nasehat kepadanya, pasti dia carikan
jalan untuk mengucilkannya, bahakn dicoret (ditip-ex, meminjam istilah
salah seorang teman) dari keanggotaan jama’ahnya.
l. Selalu berfikiran negatif (negative thinking) terhadap jama’ah atau tokoh lain di luar jama’ahnya dan juga terhadap anggota jamaahnya yang kreatif, berfikir besar dan jauh ke depan yang memilki ‘uqul al-kabiroh.- meminjam istilah Yusuf Al-Qordhowi -.
m. Yang menentukan segalanya adalah keinginan pribadinya, kendati dengan mengatasnamakan lembaga, seperti jama’ah, dakwh, partai dan lain sebagainya serta dengan memanfaatkan keikhlasan mayoritas anggota jama’ahnya dan hawa nafsu duniawi segelintir elite di sekitarnya.
n. Biasanya punya hasrat memimpin untuk puluhan tahun atau sampai mati, tanpa menyadari bahwa berlama-lama dalam kepemimpinan itu cenderung menggirngnya menjadi korup, menyimpang, khususnya saat sistem dan mekanisme organisasi tidak berfungsi alias mandeg atau dimandegkan.
l. Selalu berfikiran negatif (negative thinking) terhadap jama’ah atau tokoh lain di luar jama’ahnya dan juga terhadap anggota jamaahnya yang kreatif, berfikir besar dan jauh ke depan yang memilki ‘uqul al-kabiroh.- meminjam istilah Yusuf Al-Qordhowi -.
m. Yang menentukan segalanya adalah keinginan pribadinya, kendati dengan mengatasnamakan lembaga, seperti jama’ah, dakwh, partai dan lain sebagainya serta dengan memanfaatkan keikhlasan mayoritas anggota jama’ahnya dan hawa nafsu duniawi segelintir elite di sekitarnya.
n. Biasanya punya hasrat memimpin untuk puluhan tahun atau sampai mati, tanpa menyadari bahwa berlama-lama dalam kepemimpinan itu cenderung menggirngnya menjadi korup, menyimpang, khususnya saat sistem dan mekanisme organisasi tidak berfungsi alias mandeg atau dimandegkan.
3. Ahbarisme dan Ruhbanisme. Adapun cirri-cirinya :
a. Memanipulasi agama untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok
yang bersifat duniawi. Kalau dalam sejarah Kristen terkenal dengan
istilah “penerbitan surat pengampunan dosa”. Kalau dalam sejarah umat
Islam, terkenal dengan istilah “nyari berkah, takut kualat”. Bahkan ada
anggota Jama’ahnya menyerahkan anak gadisnya untuk dinikahi sang
pemimpin hanya sekedar mencari “berkah”, kendati anaknya masih ingusan.
b. Menumpuk kekayaan dari aktivitas dakwah (keagamaan), baik sosial
maupun politik dengan alasan kepentingan agama/dakwah. (Q.S. Attaubah / 9
: 34)
c. Memaksakan teks agama (Al-Qur-an dan As-Sunnah) dan peristiwa sejarah kepada semua konteks kehidupan yang sedang dihadapi, kendati tentang masalah-masalah teknis duniawi yang dibolehkan bahakan dianjurkan Islam untuk ijtihad atau menggunakan akal. Atau senbaliknya, memaksakan teks agama untuk melegalkan kekeliruan dan kesalahan yang mereka lakukan demi mengejar keuntungan dunia yang tak seberapa. Gaya kepemimpinan seperti ini terkesan ada unsur “legalisasi” tindakan yang secara badihiyyat (aksiomatiak Islam) melanggar aturan agama itu sendir.
c. Memaksakan teks agama (Al-Qur-an dan As-Sunnah) dan peristiwa sejarah kepada semua konteks kehidupan yang sedang dihadapi, kendati tentang masalah-masalah teknis duniawi yang dibolehkan bahakan dianjurkan Islam untuk ijtihad atau menggunakan akal. Atau senbaliknya, memaksakan teks agama untuk melegalkan kekeliruan dan kesalahan yang mereka lakukan demi mengejar keuntungan dunia yang tak seberapa. Gaya kepemimpinan seperti ini terkesan ada unsur “legalisasi” tindakan yang secara badihiyyat (aksiomatiak Islam) melanggar aturan agama itu sendir.
d. Ucapan dan perbuatannya bernilai Sabda, harus ditaati dan tidak
ada peluang mengkritisi apalagi mengoreksi dan mengakuinya sebagai
kesalahan. Kalapun di hadapan pengkriytiknya ia bermuka manis, namun di
belakangnnya, ia akan mencari-cari cara untuk menyingkirkannya.
e. Mengambinghitamkan kepentingan agama dan dakwah untuk mendapatkan uang atau dana tanpa peduli haram atau syubhat. Fatwa atau pendapat tentang uang dan harta selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang terbuka.
Model-model kepemimpinan tersebut adalah model kepemimpinan negatif yang wajib dijauhi dan dihindarkan oleh Gerakan Dakwah, apalagi jika sampai terdapat kombinasi dua atau lebih dari tiga model kepemimpinan tersebut, tentulah akan membawa mala petaka besar terhadap Gerakan Dakwah, cepat atau lambat.
e. Mengambinghitamkan kepentingan agama dan dakwah untuk mendapatkan uang atau dana tanpa peduli haram atau syubhat. Fatwa atau pendapat tentang uang dan harta selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang terbuka.
Model-model kepemimpinan tersebut adalah model kepemimpinan negatif yang wajib dijauhi dan dihindarkan oleh Gerakan Dakwah, apalagi jika sampai terdapat kombinasi dua atau lebih dari tiga model kepemimpinan tersebut, tentulah akan membawa mala petaka besar terhadap Gerakan Dakwah, cepat atau lambat.
Timbul pertanyaan mendasar, apa gerangan yang menyebabkan model-model
kepemimpinan tersbut mucul dan terkadang subur? Padahal mereka juga
orang yang paham Islam dengan baik dan memahami ancaman neraka.
Menurut hemat penulis, paling tidak ada tiga belas (13) faktor :
1. Ketaatan anggota jama’ah atau partai atau organisasi yang
berlebihan pada pemimpin mereka, sehingga tidak lagi mengikuti arahan
Allah dan Rasulnya.
2. Kekaguman dan penghormatan yang berlebihan pada pemimpin.
3. Harapan pada pemimpin yang berlebihan.
4. Mencintai pemimpin secar berlebihan
5. Suburnya mentalitas imma’ah (pak turut / yes-man) dalam kehidupan berjama’ah, berorganisai atau berpartai dan besarnya nafsu kepentingan duniawi yang diharapkan dari aktivitas dakwah.
2. Kekaguman dan penghormatan yang berlebihan pada pemimpin.
3. Harapan pada pemimpin yang berlebihan.
4. Mencintai pemimpin secar berlebihan
5. Suburnya mentalitas imma’ah (pak turut / yes-man) dalam kehidupan berjama’ah, berorganisai atau berpartai dan besarnya nafsu kepentingan duniawi yang diharapkan dari aktivitas dakwah.
6. Tidak dibangunnya suasana kritis dan dialogis dalam kehidupan
berjama’ah, berorganisasi atau berpartai, khususnya kritis terhadap
pemimpin sebagaimana para Sahabat Rasulullah terhadap Rasul Saw. Padahal
sholat berjama’ah yang dilakukan lima kali dalam sehari semalam
mengajarkan kritis terhadap sang imam; ada yang ditegur atau diingatkan.
Namun jika ia melakukan sesutau yang menyeabkam shpolatnya batal, maka
ia harus digantikan keimamannya saat itu juga.
Persoalan ini dalam Islam adalah hal yang biasa-biasa saja, tidak
perlu menggemparkan karena Islam itu sesuai dengan fitrah dan karakter
manusia yang lemah. Peristiwa ini akan dilihat sebagai peristiwa
“kiamat” hanya oleh orang-orang yang dimabuk kedudukan dan kekuasaan.
7. Kurang memahami mana dan kedudukan Wahyu dan Sunnah Rasul serta
mana yang ijtihad sang pemimpin. Semuanya dianggap sama kedudukannya.
8. Terikat kepentingan duniawi terhadap pemimpin dan dakwah.
8. Terikat kepentingan duniawi terhadap pemimpin dan dakwah.
9. Tidak dibangunnya tradisi keilmuan dalam kehidupan berjama’ah,
berorganisasi atau berpartai sehingga lahir secara alamiyah masyarakat
umyyin (tidak memahami Islam kecuali hanya sebatas presepsi yang
dibangun pemimpinnya). Mereka, sengaja atau tidak, dijauhkan dari
refernsi utama Islam, yakni Al-Qur’an, Hadits Rasul Saw, kehidupan para
Sahabat dan buku-buku ulama stnadar lainnya. Dengan demikian, akan
memudahkan sang pemimpin tersebut mengendalikan anggota jama’ah,
organisasi dan partainya.
10. Lemahnya keilmuan dan mental yang mempelajari Syari’ah (Islam)
secara akademis dalam mengatakan dan menegakkan hak dan kebenaran serta
mencegah kemungkaran dalam lingkungan jama’ah atau internal karena
suburnya mental ewuh pakewuh, khususnya terhadap para pemimpinnya.
Anehnya, terhadap lingkungan luar jama’ahnya terkesan tegas dan berani
menyatakan hak dan kebenaran, terkadang keluar pula dari kontek dak yang
diajarkan Islam.
11. Lumpuhnya Lembaga-Lembaga Tinggi Jama’ah seperti Majlis Syuro,
Dewan Pengawas Syariah dan sebagainya sehingga mengakibatkan macetnya
sistem dan mekanisme tanzhim (organoisasi). Akhirnya lemabaga-lembaga
tersebut tidak dapat berfungsi secara maksimal. Bahkan dalam banyak
hal, lembaga-lembaga tingi tersebut tidak lebih dari tukang stempel
keinginan para pemimpinnya.
12. Sistem kaderisasi Junndiyyah yang keliru dengan menitik beratkan
kepada ketaatan pada jama’ah dan qiyadah (pemimpin), bukan kepada
kepahaman dan kecerdasan akal dan spritual serta kejujuran moral yang
dilandasi iman pada Allah dan akhirat.
13. Sistem kaderisasi qiyadiyyah yang diabaikan, baik sengaja maupun
tidak. Mungkin karena mnganut falsafah tidak boleh ada dua mata hari.
Langganan:
Postingan (Atom)